Perlu Tambahan Masa Jabatan Komisioner Komnasham

[Jakarta-elsaonline.com] Sebagian korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merasa, kinerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) RI kurang memuaskan. Korban menilai, ada beberapa kasus yang pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti. Bahkan, ketika ada kasus, Komnasham cenderung pasif.
Hal itu terungkap pada Seminar Nasional “Kebijakan Perlindungan Pembela HAM di Indonesia” yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI bekerjasama dengan The Asia Foundation 8 Juli 2015 di salah satu hotel Jakarta.

Dalam sesi dialog, salah satu korban Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Pendeta Palti Panjaitan merasa kasus yang menimpanya tidak ada perkembangan. Palti yang merupakan Pdt. HKBP Philadelpia merasa saat mengadukan permasalahan ke Komnasham, hanya pada awalnya yang mendapatkan respon positif.

“Saya sudah berepa kali mendatangi Komnasham, akan tetapi samapi saat ini kasus Philadelpia belum mendapatkan kejelasan tindakan dari Komnasham,” katanya, disela dialog dengan berlangsung. Acara ini dihadiri oleh para pegiat HAM se-Indonesia. Sehingga banyak data terungkap bagaimana kondisi di lapangan.

Hadir pada kesempatan itu, hadir Kepala Badan Penelitian dan Pengembang HAM, Kemnekumham RI, Y. Ambeg Pramarta sebagai keynote speaker. Hadir sebagai narasumber KH Maman Imanulhaq (Anggota DPR-RI), Siti Nurlaila (Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Dr. Mualimin Abdi, (Dirjen HAM Kementerian Hukum, HAM RI), Yohanes Jonga Pembela HAM Papua.

Menurut Palti, Komnasham seharusnya mempunyai wewenang eksekutor dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana tidak, ketika hanya rekomendasi maka respon dari yang diberikan rekomendasi bergantung pada siapa yang diberi rekomendasi. Palti sedikit menyindir, bahwa jangankan menuntaskan sebuah kasus, untuk memanggil seorang walikota atau bupati pun Komnasham tak kuasa.

“Seharusnya Komnasham dapat berkuasa sebagaimana KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lembaga lain, sehingga berbagai kasus tidak terkatung-katung,” saranya. Secara keseluruhan peserta menilai, saat ini problem Komnasham sangatlah komplek. Antara lain sumberdaya staff yang kurang berkualitas. Akibatnya, tidak responsif terhadap kasus-kasus yang dihadapi.

Baca Juga  Ratusan Masyarakat Karangrowo "Melebur" dalam Kebersamaan

Mereka menilai, keadaan demikian salah satu fakornya karena sistem seleksi yang dianggap tidak kompatibel dan independen. Peserta berkesimpulan, problem masa jabatan komisioner Komnasham yang hanya 5 tahun turut berpengaruh terhadap kinerja. Atas dasar itu peserta sepakat memberikan rekomendasi supaya masa jabatan komisioner Komnasham menjadi 7 tahun.

Bersipat Pasif
Hampir senada dengan Palti, kesaksian Kartika Sari, dosen asal Aceh yang membawa mahasiswa muslim ke gereja untuk studi banding. Menurutnya Komnasham tidak memberikan sumbangsih ketika dirinya mengalami intimidasi, diskriminasi, ancaman dan pelanggaran lainnya.

“Ketika itu yang membantu saya justru hanya individu-individu bukan dari Komnasham ataupun negara” tuturnya. Kartika menganggap peran negara tidak ada ketika dirinya tertimpa pelanggaran HAM. Sependapat dengan Kartika, aktifis HAM asal Maluku Insani berpendapat, bahwa Komnasham terkesan menunggu kasus.

Berbeda dengan peran Komnasham, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mempunyai mekanisme tersendiri dalam menangani sebuah aduan. Menurut komisiner LPSK, Lili Pantauli Siregar, lembaganya tidak dapat mendampingi secara langsung bagi kasus-kasus reguler.

Perlu adanya alasan dan rekomendasi yang diajukan sesuai dengan prosedur untuk mendapatkan respon cepat dan langsung. Menurutnya ada skala prioritas dalam menangani sebuah kasus. Diantara syaratnya adalah harus tersorot publik dan darurat kondisi korban, termasuk apabila resiko korban adalah kematian.

Berkaitan dengan penanganan terhadap human right defender (HRD) menurut Lili tidak ada secara eksplisit. menurutnya setiap kasus yang ditangani oleh LPSK harus sampai tahap pelaporan kepada penegakan hukum. Apabila seorang pembela HAM menjadi korban suatu tindakan pelanggaran tanpa ada peloran maka tidak dapat ditangani LPSK.[elsa-ol/Yayan-@yayanmroyani/003]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini