Penganut Samin: Rayakan HUT RI Dengan Wujudkan Keadilan

[Salatiga –elsaonline.com] Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada dasarnya memperingati jasa-jasa pahlawan. Kata merdeka dari sisi istilah kasat mata memang sudah terjadi, negara ini sudah tidak terjajah lagi oleh negara lain, dan bisa mengelola negaranya sendiri. Tapi dari sisi lain, dengan sebab tidak adilnya pemerintah dalam melayani warga negaranya, negara ini belum merdeka.

Hal itu disampaikan sesepuh penganut agama Samin Kabupaten Kudus, Budi Santoso, di sela acara “Konsolidasi Nasional Sobat KBB” di Training Center Brother Andrew (BA) Klero Salatiga, Sabtu (15/8).

Menurut bapak tiga anak itu, kemerdekaan yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini belum sempurna dan belum sesuai dengan harapan-harapan para pejuang terdahulu. Pasalnya, pemerintah sebagai orang yang diwarisi negara ini oleh para pahlawan belum memberikan pelayanan yang adil kepada rakyat.

“Kemerdekaan masih semu bagi warga negara yang meyakini agama warisan leluhur seperti saya (agama Samin, red),” katanya.

Bagi suami Tianah itu, kemerdekaan bisa dikatakan benar-benar merdeka apabila pemerintah mewujudkan keadilan kepada semua warga negara Indonesia. “Harusnya pelayanan itu jangan ada pilih kasih. Tidak bisa dipandang apa itu agamanya, sukunya, kita ini bangsa Indonesia satu. Bahkan masalah agama itu persoalan pribadi, jadi kalau mau diakui ya harus setara. Agama kami juga diakui,” pintanya.

Harus Setara
Budi menjelaskan, mengurus negara sama dengan mengurus keluarga. Dalam mengurus keluarga harus berlaku adil. Apabila punya banyak anak, maka semuanya harus diperlakukan secara adil. Demikian juga dengan negara, harus mewujudkan kesetaraan terhadap semua warga negaranya, setara di hadapan hukum, dan adil dalam mengambil kebijakan.

“Dalam merawat anak tidak boleh mban cinde, mban siladan (menggendong satu anak dengan selendang, dan menggendong anak lainnya menggunakan pecahan bambu, red). Artinya, jika orangtua merawat anak dengan tidak adil, yang satu menggunakan selendang, satunya lagi pakai pecahan bambu, maka akan terjadi konflik. Begitu juga dengan negara, negara mengakui agama tertentu, tapi tidak mengakui agama lainnya, akhirnya terjadi konflik juga,” paparnya.

Baca Juga  Problem Pemakaman Penghayat di Banyumas

Karena itu, lanjutnya, demi mewujudkan kemerdekaan yang lebih utuh, negara harus berlaku adil terhadap semua warga negaranya. “Toh dasar negara kita sebagaimana bunyi butir kelima pancasila, keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia. Jadi, perayaan tujuh belasan itu jangan cuma merayakan simbol saja, tapi harus ada aksi nyata, mewujudkan kesetaraan. Apa artinya peringatan hanya kulit luarnya saja,” terangnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini