[Salatiga –elsaonline.com] Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) di Indonesia melakukan Konsolidasi Nasional di Training Center Brother Andrew (BA) Klero Salatiga, Jumat-Senin (14-17/15).
Dalam acara yang akan berlangsung selama 4 hari itu, diikuti perwakilan korban pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dari berbagai provinsi di Indonesia, dari Aceh, Jogjakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan yang lainnya.
Sekretaris Sobat KBB, Firdaus Mubarik, menyampaikan, acara ini bertujuan supaya para korban pelanggaran KBB saling mengenal dan saling membantu, hingga dikemudian hari dapat mengadvokasi dirinya. “Saya berharap dengan adanya Sobat KBB di semua provinsi ini, nanti para korban dapat berjejaring di wilayahnya masing-masing dengan dibantu Seknas,” katanya.
Dalam forum itu masing-masing korban KBB menceritakan kronologi kasus yang dialaminya masing-masing.
Sobat KBB penganut Sapta Darma asal Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Carlim, menjelaskan bahwa penganut agama Sapta Darma di Kabupaten Brebes sangat terdiskriminasi. Kekerasan yang dialami penganut Sapta Darma tak hanya dialami saat masih hidup, tapi sudah mati pun masih mengalami hal serupa. “Pernah ada warga kami (Sapta Darma, red) sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Gara-gara diketahui menganut Sapta Darma, makamnya dibongkar. Jenazahnya disuruh dipindah di tanah milik sendiri,” tutur Carlim sembari menahan isak tangis.
Sementara penganut agama lokal lainnya asal Jawa Tengah, Budi Santoso, menyampaikan, diskriminasi yang dialami penganut agama yang lahir di Indonesia atau yang diistilahkan pemerintah dengan penghayat kepercayaan, lebih berat ketimbang yang dialami penganut agama resmi. “Jika yang agamanya diakui pemerintah saja mengalami diskriminasi, apalagi agama kami (Samin, red) lebih menyakitkan,” tuturnya.
Sesepuh penganut agama Samin Kabupaten Kudus itu, selain menceritakan segala persoalan yang dialami, juga mengajak kepada semua anggota Sobat KBB supaya ikut serta membantu warga Samin yang sedang meminta kepada pemerintah supaya mengakui keberadaan Samin sebagai agama.
“Kami sudah mengirimkan surat ke pemerintah provinsi, pusat, kepada Komnas HAM, dan lain-lain, supaya mereka membantu kami, Samin diakui sebagai agama. Memang ini hal sulit, tapi kalau kami tidak memperjuangkannya, kami khawatir anak cucu kami tidak tahu kalau Samin itu sebenarnya ya agama,” paparnya.
Dalam acara yang diadakan 3 bulan sekali ini, korban KBB lainnya seperti dari penganut Kristen dan Katolik menceritakan tentang kesulitannya dalam membangun rumah ibadah atau gereja.
“Membangun rumah ibadah di sini (di Jawa, red) itu lebih sulit daripada membuat diskotik. Buat diskotik mudah dan dipermudah, tapi buat rumah ibadah malah dipersulit,” kata salah satu pendeta asal Jogjakarta yang sudah setahun lebih gerejanya ditutup oleh pemerintah setempat. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]