Sapta Darma Brebes: Beragama Itu Harus Terus Terang

[Brebes –elsaonline.com] Pemeluk Sapta Darma di Kabupaten Brebes menyadari bahwa keberadaannya sebagai kelompok minoritas kerap mengalami diskriminasi dan kesulitan dalam mengakses pelayanan publik lantaran pihaknya menampakkan diri sebagai pemeluk Sapta Darma.

Menyampaikan Persoalan: Pemuka Penghayat Kepercayaan Satpa Darma Kabupaten Brebes, Carlim, menyampaikan Masalahnya [Foto: Abdus Salam]
Menyampaikan Persoalan: Pemuka Penghayat Kepercayaan Satpa Darma Kabupaten Brebes, Carlim, menyampaikan argumennya [Foto: Abdus Salam]
Ketua Yayasan Sapta Darma (Yasrad) Kabupaten Brebes, Carlim (44), menuturkan, apabila warga Sapta Darma tidak memperlihatkan diri sebagai penganut agama yang lahir di Pare, Kediri ini secara terang-terangan, mungkin tidak akan mengalami masalah sebagaimana pemeluk agama Islam. Tapi, menurutnya, sikap seperti ini tidak baik karena tidak memiliki kejujuran dalam beragama.

“Kalau saya dan warga (sebutan untuk pemeluk Sapta Darma, red) beragama gado-gado, pura-pura Islam, kalau bulan ramadlan ikut puasa, ikut jum’atan, mungkin tidak akan seperti ini (terdiskriminasi, red). Tapi, apa artinya memeluk Sapta Darma jika tampilan kita sebagai muslim,” paparnya kepada elsaonline.com, Kamis (16/4) sore.

Bagi pemeluk Sapta Darma yang pernah mengalami trauma lantaran pemakaman jenazah keponakannya ditolak kelompok muslim radikal ini, berpandangan bahwa beragama harus dijalankan dengan penuh kejujuran, yakni menampakkan diri sebagai pemeluk agama Sapta Darma meskipun tekanan dari berbagai arah terus berdatangan.

“Saya meyakini agama saya (Sapta Darma, red) benar, sebagaimana umat Islam meyakini kebenaran agamanya. Kenapa saya harus minder atau takut. Sejak dulu, walaupun banyak orang-orang, terutama kyai-kyai (tokoh agama Islam, red), memaksa saya untuk kembali ke Islam, jenazah keponakan saya tidak boleh dimakamkan di tempat pemakaman umum, sampai saat ini saya masih dilarani (terdiskriminasi, red) saya tetap menampakkan diri sebagai warga Sapta Darma,” tandasnya.

Lebih jauh warga yang masa mudanya sebelum masuk ke Sapta Darma dihabiskan untuk belajar Islam dan mengaji al-Quran di kampung halamannya itu, menuturkan, dirinya tidak akan pernah berpura-pura menjadi muslim supaya tidak terdiskriminasi.

Baca Juga  Majalah “Support” dan Literasi HIV di Pertengahan 1990an

“Wong beragama kan urusan pribadi, dan itu dilindungi negara, kenapa harus berpura-pura menganut agama gado-gado, kepercayaannya Sapta Darma, tapi tampilannya Islam. Tidak, saya dan warga Sapta Darma di sini (Kabupaten Brebes, red) akan tetap terus terang, undang-undangnya memperbolehkan. Jadi kalau kami terdiskriminasi gara-gara mengikuti Sapta Darma ya itu kesalahan pemerintah dan masyarakat yang tidak tahu,” jelasnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini