Sejarah Gereja Katolik St Yusuf Gedangan, Semarang (3)

MENGABADIKAN GAMBAR: Beberapa orang mengabadikan gambar di depan Gereja Immanuel atau Gereja Blenduk yang dulu pernah ditumpangi umat Katolik Semarang beribadat sebelum ada Gereja Gedangan
MENGABADIKAN GAMBAR: Beberapa orang mengabadikan gambar di depan Gereja Immanuel atau Gereja Blenduk yang dulu pernah ditumpangi umat Katolik Semarang beribadat sebelum ada Gereja Gedangan

[Semarang –elsaonline.com] Oleh Gubernur Jenderal selaku pemangku pemerintahan, Pastoor Prinsen hanya diberi wewenang untuk bekerja di antara orang-orang Eropa meskipun lapangan kerjanya amat luas. Buku baptis dari zaman itu masih disimpan di Pastoran Gedangan.

Dari bukut itu diketahui bahwa Semarang untuk pertama kali ada baptis Katolik pada 9 Maret 1809. Pada tahun itu seluruhnya dibaptis 14 orang. Tahun 1810 dibaptis 31 orang, tahun 1811 dipatis 17 orang. Kemudian pada tahun 1812 sekonyong-konyong jumlah baptisan naik drastis 133 orang.

“Tetapi dari mereka hanya 19 orang dibaptis di Semarang. Di Salatiga telah dipaptis 71 orang, Klaten lima orang di Yogyakarta 38 orang.  Sejak itu, setiap tahun tercatat baptisan yang diterima dalam perjalanan pastooran ke kota-kot di mana ada Garnisun Kumpeni,” tulis buku itu di halaman 13.

Perjalan itu memakan watu dan tenaga banyak, karena satu-satunya alat transportasi yang tersedia adalah kuda. Pada tahun-tahun berikutnya dicatat juga baptisan di kota-kota lain. Tahun 1813 di Rembang, Jepara, Tegal, dan Pemalang. Pada tahun 1814 muncul juga Srondol, Magelang, Surakrat dan seterusnya.

Kebanyakan baptisan itu merupakan anak-anak keturunan Belanda atau Eropa lain, yang lahir di luar perkawinan. Tetapi bagaimana mungkin bagi orang yang memang merasa Katolik, tetapi selama itu belum pernah melihat seorang pastoor. Jadi tak pernah mendapat pelayanan atau pelajaran dan tak pernah bisa mengikuti ibadat?

Pastoor Prinsen bukan seorang single fighter kala itu. Sebulan sesudah tiba di Semarang ia sudah berhasil suatu pengurus gereja dan Papa Miskin terdiri dari empat orang di samping pastoor. Nama-nama para anggota PGPM itu sudah menunjukan bahwa mereka tiak hanya terdiri dari orang Belanda.

Baca Juga  Kisah Heroik Warga Sedulur Sikep

Numpang di Gereja Blenduk

Salah seorang anggota sepertinya asli dari Jerman (Gauffer) dan seorang lagi dari Prancis (Villeneuve), demikian keadaan pada waktu itu. Pada waktu itu, Gereja Katolik belum pernah ada di Semarang. Gubernur Jenderal sudah menetapkan bahwa sementara waktu, umat Katolik ibadah numpang.

Gereja yang terlebih dahulu ada yakni Gereja Gereformeerd dan Gereja Immanuel yang dikenal dengan gereja Blenduk boleh digunakan untuk beribadat umat Katolik. Adalah mengherankan hal seperti itu diatur oleh Gubernur Jenderal. Memang pada waktu itu campur tangan pemerintahan dalam urusan intern agama-agama masih sangat besar.

Maka umat Katolik mengadakan ibadat sebagai tamu di Gereja Blenduk. Keadaan itu berlangsung sampai tahun 1815. Sejak tahun Misa bisa dipersembahkan di suatu rumah besar di lapangan yang sekarang dinamakan Taman Sri Gunting. Dulu alamatnya Paradeplein Utara Blok LA. Nomor 5.

Tetap rumah itu perlu direhab dulu karena lantai atasnya disediakan untuk rumah pastoor dan lantai bawahnya diatur supaya bisa dipakai untuk bisa dipakai  beribadat. Pada 7 Agustus 1822 untuk pertama kalinya dipersembahkan Misa di lokasi itu.

“Apakah sekarang rumah itu masih ada? Jika masih ada, dipakai untuk apa? Sayangnya sampai sekarang rumah pertama yang digunakan Misa pertama umat Katolik di Semarang itu belum bisa terjawab. Kalau ada pembaca yang bisa memberi keterangan tentang nasib rumah itu kami akan sangat berterima kasih,” harapan penulis buku itu pada halaman 14.

Tak lama setelah rumah itu ditempati, terjadilah perang Diponegoro (1825-1830). Seorang pastoor yang baru datang dari Belanda, bernama JH Scholten Pr diutus ke Semarang dengan tugas khusus untuk mengunjungi beberapa rumah sakit militer di Semarang, Magelang dan Boyolali.

Baca Juga  Jalan Salib, Jalan Pengharapan

Orang luka-luka pada waktu itu amat banyak. Kadang-kadang ia menerimakan Sakramen Pengurapan Suci kepada 40, 64 bahkan 84 orang pada hari yang sama. Namun dengan kedatangan Pastoor Scholten itu, Pastoor Prinsen mendapat seorang teman. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini