15 Siswa Sedulur Sikep Sedang Bersekolah

Heru Lukwantoro (memegang mik), salah satu warga Sedulur Sikep yang sedang bersekolah di SMA/SMK. [Foto: Salam]
Heru Lukwantoro (memegang mik), salah satu warga Sedulur Sikep yang sedang bersekolah di SMA/SMK. [Foto: Salam]
[Kudus –elsaonline.com] Di Kabupaten Kudus, ada tiga desa dimana warga Sedulur Sikep tinggal. Masing-masing adalah Desa Larekrejo, Karangrowo dan Kutuk. Semuanya berada di wilayah Kecamatan Undaan. Paling banyak berada di Karangrowo (Dusun Kaliyoso) dengan jumlah 65 kepala keluarga (KK), 16 KK di Larekrejo dan yang tinggal di Desa Kutuk sebanyak 4 KK.

Warga Sedulur Sikep terus berupaya mengikuti derap dan laju perkembangan zaman. Sembari memegang erat tradisi dan ajaran nenek moyangnya, penganut Agama Adam ini mencoba berdialektika dengan kehidupan kekinian. Mereka tak lagi “emoh” negara seperti era kolonial. Salah satu yang sangat kentara adalah soal pendidikan. Sedulur Sikep di Kudus mulai mengikuti pendidikan formal di sekolah sejak tahun 1980an.

Hingga bulan April tahun 2015, tercatat ada 6 siswa Sekolah Dasar (3 laki-laki dan 3 perempuan), 8 siswa Sekolah Menengah Pertama (1 laki-laki dan 7 perempuan) dan 1 orang laki-laki yang bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Sehingga jumlah siswa yang aktif dari SD hingga SMA/SMK berjumlah 15 siswa/i.

Mereka yang bersekolah hampir semuanya menamatkan pendidikannya. Ini bisa dilihat dari angka kelulusan sekolah warga Sedulur Sikep yang lahir pada tahun 1985 ke bawah (1986, 1987, 1988, dan seterusnya). Ada 18 lulusan SD, 10 lulusan SMP dan 2 orang lulusan SMA. Tercatat hanya 2 orang yang tidak menamatkan SD dan 1 orang yang tidak lulus SMK. Bahkan ada seorang warga Sedulur Sikep yang pernah duduk di bangku kuliah, meski kemudian tidak melanjutkannya.

Dari sisi kesadaran warga Sedulur Sikep tentang pendidikan formal kita bisa mencermati beberapa fenomena disini. Di Larekrejo misalnya, anak yang berusia 6-18 tahun semuanya pernah mencecap bangku sekolah. Sementara di Karangrowo, ada 18 anak di rentang usia di atas yang sama sekali tidak mengikuti pendidikan formal. Serta ada 1 anak di Kutuk yang tidak bersekolah.

Baca Juga  Penghayat Waspada Khawatir Kosongkan Kolom Agama

Dari sisi gender, kesadaran untuk menyekolahkan anak-anak perempuan tentu hal yang patut diapresiasi. Stereotype tentang perempuan yang tidak harus bersekolah atau bekerja, terbantahkan melalui fakta tersebut. Budi Santoso, yang memiliki 3 orang anak perempuan, semuanya bersekolah hingga SMP, dua orang lulus dan satu masih bersekolah.

Meski demikian, 15 orang yang bersekolah itu tentu sangat rentan mengalami pembedaan karena agama dan keyakinan yang dianutnya. Ini tugas besar yang diemban oleh sekolah, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait. Karena diskriminasi terhadap 15 orang, tetaplah diskriminasi. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini