[Semarang –elsaonline.com] Apakah kerukunan umat beragama itu sesuatu yang perlu diatur? Itu setidaknya pertanyaan krusial yang diajukan saat pemerintah melalui Kementerian Agama menyiapkan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama (KUB). Naskahnya sendiri sudah ada sejak bulan Agustus tahun 2011.
Tema yang diangkat dalam RUU KUB antara lain soal perayaan dan peringatan hari besar keagamaan, penyebarluasan agama, pendidikan agama, penyiaran agama, pemakaman jenazah, pendirian rumah ibadat serta Izin memanfaatkan Bangunan sebagai Tempat Ibadat. Fondasi RUU ini cukup apik, bersandar pada prinsip toleransi, kebersamaan, non diskriminasi dan ketertiban (Pasal 2). Sebanyak 55 pasal disiapkan untuk mengokohkan kebhinnekaan. Tujuannya, “menjamin terpenuhinya hak-hak umat beragama agar dapat hidup, berkembang, berinteraksi, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya kerukunan umat beragama yang berkualitas dan berakhlak mulia” (Pasal 3).
Hanya saja, substansi RUU ini masih menyisakan masalah. Soal penyiaran agama misalnya. Tema ini ada dalam paragraf 3 dan dituangkan dalam 2 pasal yakni Pasal 17 dan 18. Dalam pasal 1 disebutkan penyiaran agama adalah segala bentuk kegiatan yang menurut sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama, baik melalui media cetak, elektronik, maupun komunikasi lisan.
Di era orde baru, ada Keputusan Menteri Agama republik Indonesia Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama serta Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Kalau dicermati, pasal penyiaran agama di RUU KUB mengakomodir sepenuhnya aturan tersebut. Malah, penyiaran agama dalam KUB menyinggung soal penyiaran agama yang hanya dibolehkan untuk mereka yang “belum memeluk suatu agama” (pasal 17 ayat 2).
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Meneteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menginisiasi Undang-undang Perlindungan Umat Beragama (PUB). Menurut Lukman, RUU PUB itu intinya adalah memberikan perlindungan kepada warga negara, setidaknya dalam amanah konstitusi, yaitu kebebasan memeluk agama dan menjalankan agama yang dipeluknya itu. Di dalam PUB akan mengatur tentang syarat pendirian rumah ibadah hingga cara penyebarluasan atau penyiaran sebuah agama. RUU ini, lanjut Lukman nantinya akan akan memastikan bahwa perlindungan akan diberikan kepada semua warga negara.
Hingga saat ini, Naskah Akademik maupun draf dari RUU PUB itu belum beredar di masyarakat. Jadi, publik belum bisa menilai bagaimana ide yang baik Menteri Agama juga terejawantah dengan baik pula dalam rentetan pasal per pasal. Tetapi kalau mencermati dinamika kehidupan keagamaan yang kerap dibumbui intoleransi dan diskriminasi, maka persoalan sesungguhnya tidak semata-mata pada aspek hukum. Penegakan hukum yang lemah lebih tepat dinilai sebagai akar masalahnya. Bahwa ada aturan itu lebih baik daripada tidak ada aturan, itu benar. Namun, peraturan tentang perlindungan umat beragama semestinya dibarengi dengan komitmen penegakan hukum yang kuat.
Perubahan dari aturan “kerukunan” menjadi aturan “perlindungan” mesti diiringi dengan perubahan perspektif pula. Kerukunan itu merupakan akibat sebuah kondisi. Dan ini tentu tak perlu diatur. Jika RUU PUB merubah politik kerukunan itu menjadi kehendak untuk melindungi umat, ini adalah langkah maju. Menag menyebut melindungi umat beragama, bukan melindungi agama. Karena memang agama tidak perlu dilindungi, umatlah yang harus dijamin, diakui dan dijaga hak-hak konstitusionalnya. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]