Oleh: Tedi Kholiludin
Kamis (6/4/2023) malam kemarin, saya berziarah ke makam Ki Gede Sebayu, Tegal. Tak sendirian, saya bersama tiga teman lain; Mas Wahyu Indriawan, Mas Yusuf Kusumo dan Zaki Mubarok. Nama terakhir adalah orang lokal, alias pemandu kami bertiga. Ia adalah adik angkatan saya kala berkuliah di salah satu kampus di Semarang. Kami bertiga sedang ada pekerjaan di Tegal. Karena kebetulan tidak ada aktivitas malam hari, akhirnya kami bersepakat untuk ziarah ke makam pendiri pemerintahan Tegal.
Dari tempat kami menginap di utara (Kota Tegal), jarak menuju makam yang berada di Desa Danawarih, Balapulang Kabupaten Tegal, berkisar sekitar 20-an kilometer. Karena dilakoni malam hari, tak ada titik yang menghambat perjalanan. Ada tiga atau empat rombongan yang terpantau di kompleks makam. Mereka melafalkan tahlil bersahutan dengan bunyi air sungai dan diselimuti dingin.
Kami berempat segera mendekat ke makam yang ada dalam satu ruangan khusus. Dan tak lama kemudian, doa-doa dilangitkan.
Usai tahlil di dekat pusara Ki Gede Sebayu, kami berjalan menuju ruang tempat juru kunci makam tinggal yang letaknya masih dalam kompleks pemakaman. Saya penasaran dengan versi oral dari kisah dan kehidupan Ki Gede Sebayu. Sebagian diantaranya sesuai dengan apa yang saya baca, tapi ada juga narasi yang berbeda.
Di sela-sela sang Juru Kunci mendedah riwayat serta perjalanan Ki Gede Sebayu, saya kerap melontarkan beberapa pertanyaan konfirmatif. Utamanya menyangkut linimasa. Jika ada cerita-cerita reflektif yang menarik, saya mencatatnya di handphone, setidaknya untuk pengingat diri.
***
Pada tempat pemakaman dimana terdapat juru kunci disana, kita berkesempatan untuk mengunduh cerita tentang mereka yang dimakamkan disana. Cerita yang disampaikan tentu saja adalah kisah tutur, oral. Versinya bisa sesuai atau tidak dengan yang ditulis dalam buku sejarah.
Tidak selalu oleh juru kunci sebenarnya, karena kisah dan cerita tentang mereka yang dikebumikan di komplek makam itu juga dilestarikan oleh para peziarah itu sendiri. Ini terjadi misalnya di Kaliwungu Kendal, pada momen ziarah Syawalan (Masruri, 2019). Para pimpinan rombongan ziarah dari pelbagai tempat datang ke Kaliwungu, lalu mereka menuturkan kisah tentang Eyang Pakuwaja, Kiai Guru, Sunan Katong, dan lain sebagainya. Kisah ini diturunkan dan diluaskan melalui tradisi tutur.
Tentang tradisi tutur ini, kita rasa-rasanya patut berterima kasih pada Jan Vansina, seorang sejarawan dan antropolog asal Belgia yang membuat tradisi lisan memiliki makna dalam studi sejarah. Ilmuwan yang memfokuskan diri pada sejarah Afrika itu memberikan kerangka teoritis bagi tradisi oral sebagai sebuah piranti akademik dalam melakukan penelitian.
Jejak dari masa lalu, kata Vansina (1985), jatuh pada dua kategori utama; apakah ia merupakan pesan ataukah bukan. Pot yang ditemukan setelah menggali reruntuhan kerajaan kuno, bukanlah sebuah pesan. Ia sekadar menunjukkan usia ketika digunakan. Sementara, tradisi lisan atau prasasti adalah pesan. Karakter yang melekat pada pesan adalah karena adanya subjektivitas ganda; pengirim dan penerimanya.
Vansina menegaskan, tradisi oral tidak hanya sebagai sumber masa lalu, namun juga historiologi dari masa lalu, penjelasan tentang bagaimana orang menafsirkannya (Vansina, 1985; 196). Jadi, bukan semata sumber mentah, tetapi sebentuk hipotesis laiknya interpretasi sejarawan tentang masa lalu.
Selain sebagai sumber, tradisi oral juga memiliki signifikansi karena ia adalah sumber informasi dari dalam, selain karena memang ada posisi tertentu dimana sumber-sumber semacam itu tidak tergantikan dan menyebabkan informasi akan hilang. Pada masyarakat lisan (oral societies) dan sebagian-lisan (part-oral societies), tradisi lisan memberikan penjelasan yang mendalam tentang populasi, atau lapisan populasi, yang sebaliknya dipahami hanya dari sudut pandang luar (Vansina, 197). Tulisan orang asing atau orang luar, kata Vansina, memiliki biasnya masing-masing, karena biasanya mereka akan memilih topik minat mereka sendiri, yang mereka ikuti dalam mengaitkan berbagai aktivitas dan kualitas dengan populasi yang mereka gambarkan, dan interpretasi mereka dibentuk melalui bias mereka.
Meskipun demikian, sebagai sebuah sumber, tradisi oral tentu saja ada batasnya. Salah satunya adalah problem kronologi dan kurangnya independensi. Sejatinya, kata Vansina, persoalan ini bisa diatasi atau diminimalisir dengan menghadirkan bukti dari luar. Masalahnya, isi dari bukti luar cenderung tidak sesuai dengan isi tradisi lisan. Namun, karena tradisi lisan memiliki keterbatasan, seseorang harus tetap berupaya menghadirkan sumber-sumber luar agar bisa membantu.
***
Aksara atau tulisan, kerapkali dianggap sebagai pelestari ingatan. Namun, kelisanan, bukanlah sekadar apa yang diabadikan oleh aksara. Kata-kata (tertulis), betapapun didasarkan pada ujaran lisan, tetapi tulisan menguncinya ke dalam medan visual selamanya (Ong, 2002). Kata Ferdinand de Saussure (1959), tulisan itu memiliki kegunaan, kekurangan dan sekaligus bahaya. Tulisan itu bukan pengubah verbalisasi, tetapi pelengkap.
Memperhatikan dan mendengar juru kunci makam mendaras sejarah tentang mereka yang tiada merupakan salah satu cara untuk menunjukkan, mengutip Ong, bahwa “… budaya (lisan) tersebut menghasilkan sebuah performa verbal yang kuat dan bernilai artistik serta kemanusiaan adiluhung, yang tak lagi bisa dijumpai ketika ia menjelma tulisan.” Melalui ziarah, mendengar keterangan dari juru kunci adalah bagian dari (metode) belajar sejarah.