(Salatiga, elsaonline.com)- Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, pernah menulis di Suluh Indonesia tahun 1926, tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. “Tulisan itulah yang sebenarnya menjadi akar dari pemikiran social di Indonesia” papar Guru besar Ilmu Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, John A.Titaley pada 13/02/08.
Pembahasan tentang tiga tema itu, yang saat ini masih bisa dirasakan relevansinya. Tulisan tersebut masih sangat relevan sebagai sebuah teori social karena merangkul semua faksi kemerdekaan.
Meski demikian, wacana marxisme yang masuk dalam wilayah pemikiran kebangsaan, juga tidak terlepas dari seting global. John mengatakan bahwa hal itu tidak lepas dari Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917-1919 yang mengganti Rusia dengan USSR (Uni Sovyet). “Untuk pertama kalinya pikiran Marx diapresiasi untuk menjadi ideology negara” tuturnya.
Dari situlah kemudian pemikiran marxisme masuk ke berbagai negara, termasuk Indonesia dengan berbagai model persilangan pemikiran.
Pemikiran yang ditulis Soekarno pada 1926 (Nasionalis, Islamis dan Marxis) itu yang sealur dengan pikiran Soekarno tentang NASAKOM (Nasionalis Agama dan Komunis) pada 1965. itulah sesungguhnya kekuatan analisis Soekarno tentang masa depan (politik aliran) di Indonesia bisa dirasakan. Bahkan tak sampai pada saat itu, trikotomi itu bisa juga menjadi alat analisa untuk politik pada masa orde baru (Golkar, PPP dan PDI) dan saat ini.
Bedanya, Soekarno mengganti Marxis dengan Komunis. Kemungkinan, kata John, ini dilantarani karena Soekarno telah membubarkan Partai Sosialis Indonesia. Yang luar biasa, Soekarno berhasil meramu tiga komponen itu (Nasionalis, Islamis dan Marxis) itu ke dalam jiwa raganya.
Tentang hal ini, John mengatakan bahwa pengalamnnya pada kehidupan keseharian cukup berperan membentuk pemikirannya. Soekarno kecil adalah sosok yang sangat suka terhadap kesenian wayang. Menginjak masa remaja, Soekarno belajar tentang keislaman pada HOS.Cokroaminoto dan pemikiran Marxis ia dapatkan pada saat ia belaja di Institut Tekhnologi Bandung.
Soal Agama
Diantara tiga politik aliran itu, agama, dalam pandangan John, adalah soal yang sangat rumit dipecahkan. Agama harus masuk konstitusi atau tidak, itu masalahnya. Untuk menjadi Indonesia, John mengatakan bahwa kita harus menjadi seorang yang sektarian.
Sektarianisme, terbukti telah gagal di berbagai negara. Uni Sovyet telah runtuh karena ada hegemoni ideologi atas ideologi lainnya. Dan sesungguhnya ketika pilihan jatuh pada sistem demokrasi, maka ada ancaman besar di hadapannya, yakni teokrasi. Model ini terlihat pada berbagai partai politik yang berdasarkan agama.
Disinilah, sulitnya mendamaikan para pemeluk agama. “Mereka masih tetap melihat fenomena kehidupan dengan kacamata kuda” urai John. Untuk menguatkannya, mereka kemudian ditakut-takuti dengan neraka untuk bisa jadi orang baik.
Padahal, lanjut John, tanpa ditakut-takuti dengan neraka, orang bisa baik. Contohnya orang penganut Agama Toraja yang tidak mengenal surga dan neraka. Tapi, toh mereka bisa jadi orang baik. [T-Kh]