“Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Madura adalah salah satu yang menjadi korban peraturan ini. padahal, Tajul adalah korban. Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia agar membebaskannya segera,” kata Rupert Abbott, Direktur Amnesty International Asia Tenggara, dalam seminar “Blasphemy Law di Indonesia,” Senin (18/11/14) di Paramadina Graduate School, Jakarta.
Abbott menambahkan bahwa Amnesty International terus mengupayakan membebaskan mereka yang disebut sebagai prisoner of conscience atau narapidana yang dipenjara karena keyakinan agama atau politik.
Selain di Indonesia, Amnesti juga meminta pembebasan para blogger di Vietnam, wartawan di Myanmar dan aktivis di Kamboja. Abbott kemudian menambahkan bahwa UU No. 1 PNPS 1965 menguatkan atmosfer intoleran di Indonesia.
Pembicara lain, Alissa Wahid Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia menyoroti persoalan intoleransi yang menurutnya lebih kompleks dari peraturannya sendiri. Undang-undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) menyebut enam agama yang diakui dan ini dimungkinkan munculnya blasphemy. Persoalan lainnya adalah pendekatan terhadap kasus-kasus yang bernuansa agama itu selalu melalui pendekatan keamanan.
Sementara, wakil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia M. Nurkhoiron menambahkan bahwa perilaku polisi dalam menerjemahkan isu blasphemy, tidak berubah. Saat terjadi konflik mayoritas-minoritas, hampir bisa dipastikan polisi membela mayoritas. “Polisi itu tidak memahami bagaimana menempatkan prosedur Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus kebebasan beragama,” terang Nurkhoiron. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]