Oleh: Khoirul Anwar
Minggu, 25 Desember 2016 di sebuah masjid di Kota Semarang saya bertemu dan berbincang dengan seorang yang baru masuk Islam setengah tahun lalu. Ia mengenakan gamis berwarna ungu, tanpa penutup kepala.
Di masjid yang memiliki papan pengumuman penuh dengan pamflet seruan “jihad kalimah” (ajakan aksi Bela Islam III) itu, pria kelahiran Semarang 1992 menceritakan perjalanannya pindah agama (dari Kristen ke Islam) hingga menyampaikan pandangan dan pemahamannya tentang Islam.
“Saya mualaf akhi. Orang tua, kakak, dan adik ana masih Nashrani,” katanya di awal perbincangan.
“Kapan masuk Islam?” tanyaku.
“Setengah tahun yang lalu,” jawabnya.
“Kenapa?” sergapku.
“Aku membaca dari internet, lalu aku tertarik kepada Islam. Kini aku sedang belajar iqra`, rencana bulan Januari aku ingin melanjutkan jihad,” jelasnya.
“Jihad, maksudnya?” tanyaku.
“Begini akhi, dalam al-Quran dijelaskan kalau mati syahid itu amalnya tidak akan terputus. Mati dalam berjihad sangat mulia di sisi Allah meski di mata manusia dituduh teroris. Umat Islam ini sedang dikepung oleh Yahudi. Wah, ana kalau harus cerita ini panjang sekali akhi. Gini saja, akhi tahu kan sekarang ramai anak-anak bilang ‘Om telolet om’, itu jelas konspirasi Yahudi. Pemerintah mengeluarkan uang baru yang mirip dengan mata uang Cina, akhi tahu? Itu jelas nyata, ini kekufuran merajalela,” paparnya.
Aku semakin tertarik mendengarnya, ia cerita panjang lebar tentang pemerintahan, imam mahdi, jihad, hingga menyampaikan pendapatnya tentang aksi ‘Bela Islam’ di Jakarta.
“Sampeyan baru masuk Islam setengah tahun, tapi kok tahu tentang jihad, imam mahdi, kiamat sudah dekat, dan yang lain-lain. Siapa yang ngajarin akhi?” tanyaku, memotong paparannya.
“Aku punya kakak angkat akhi, aslinya orang Klaten, sekarang masih di Saudi orangnya,” jawabnya.
“Sampeyan belajar langsung ke dia?” tanyaku.
“Tidak akhi, ana mengenal dia dari facebook. Ana cerita ke dia kalau ana ingin berdakwah, ingin berjuang. Karena ana semangat, dia siap menjadi kakak angkat ana,” jawabnya.
“Sampeyan aktivitas kesehariannya apa? Masih kuliah?” tanyaku.
“Begini akhi, ana itu aslinya hampir mau kuliah. Tapi gak jadi, bahkan waktu itu ana dapat beasiswa. Tapi ana ingin mendalami Islam dulu. Akhi tahu ISIS?” katanya.
“Iya, gimana?” jawabku.
“ISIS itu sekarang tidak ada. Sekarang adanya IS. Nah umat Islam itu harus menegakkan khilafah, hukum Islam harus ditegakkan, potong tangan, memenggal leher orang murtad, itu harus dijalankan, karena itu hukum Allah. Ana tidak jadi kuliah karena untuk apa kuliah, yang terpenting bagi ana bisa memperjuangkan agama Allah. Ana harus berilmu, berdakwah, dan berjihad,” jelasnya.
“’Afwan akhi, jihad yang dimaksud antum itu bagaimana?” tanyaku.
“Ya berperang melawan orang-orang kafir akhi,” jawabnya.
“Kemarin akhi ikut aksi Bela Islam?” tanyaku.
“Nah itu akhi. Menurut ana, aksi bela Islam itu bukan jihad. Akhi tahu kan, bukti bahwa mereka tidak jihad? Menurut ana, jihad ya harus berperang. Nanti menunggu waktunya, kalau Allah sudah menuntun, ana akan melakukan jihad. Mati karena jihad meski orang menganggapnya teroris, tapi itu mulia di sisi Allah, amal ana tidak akan terputus,” paparnya.
“Akhi di sini punya murobbi (guru didik, red)?” tanyaku.
“Pada dasarnya tidak ada murobbi, murobbinya ya Allah. Allah yang menuntun ana akhi,” jawabnya.
“Lalu antum belajar Islam dari mana? Antum tahu dajjal, tahu imam mahdi, dari mana akhi?” tanyaku.
“Akhi kalau ingin belajar seperti itu tinggal buka saja di internet, di youtube banyak akhi,” jawabnya.
“O, jadi dari internet. Baca buku-buku juga akhi?” tanyaku.
“Iya akhi, ini ana malah bawa buku, ana sedang baca buku Minhajul Muslim, ini,” katanya, sembari mengeluarkan buku terjemahan berukuran tebal dari tasnya berjudul Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
“Mas, sampeyan aktif di HTI? Tahu NU atau Muhammadiyah?,” tanyaku.
“Ana tidak tahu, tapi sepengetahuan ana, di dalam Islam itu tidak ada organisasi. Islam itu ya khilafah, ana yakin sebentar lagi khilafah bakal kembali ada,” katanya.
***
Di atas bagian dari penggalan perbincangan saya dengan pemuda yang baru masuk Islam setengah tahun lalu. Kata “ana” adalah bahasa Arab, artinya “saya”. “Akhi” artinya “saudara”, “antum” artinya “kamu”. Istilah-istilah Arab seperti ini kerap digunakan oleh kelompok-kelompok muslim konservatif. Dalam anggapannya, menggunakan istilah Arab lebih islami daripada bahasa lain. Dalam obrolan selama dua jam lebih itu, saya mengikuti gaya bahasa pemuda mualaf itu.
Melalui perbincangan dengan mualaf ini, saya baru sadar betapa mudahnya orang menjadi “radikal”, bahkan siap menjadi teroris hanya karena membaca tulisan tentang Islam di internet dan video di youtube yang kebanyakan berisi “pesan kebencian”. Di sini pentingnya menyebarkan tulisan-tulisan atau video keislaman yang mengandung pesan perdamaian.