Oleh: Tedi Kholiludin
Ketika berpidato pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945, Soekarno menyebut frasa yang menunjukkan keluasan pemahaman dia soal agama. Dalam pidato yang kemudian diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila itu, Presiden pertama republik ini menuturkan soal dasar negara Indonesia. Salah satunya adalah Ketuhanan.
Ketuhanan, seturut yang dipaparkan Soekarno dalam pidato itu, bahwasanya segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme-agama”. Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan pentingnya dikembangkangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan yang lainnya.
Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara yang berKetuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dengan menggunakan azas itulah segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.
Saya hendak mengaitkan tema pokok dari apa yang disampaikan Soekarno di atas dengan ibadah puasa. Maksudnya, seperti halnya Soekarno menghendaki bangsa Indonesia agar berTuhan secara berkebudayaan, maka saya mengusulkan juga kepada umat Islam Indonesia untuk berpuasa secara berkebudayaan.
Tanpa harus ada penelusuran secara epistemologis, praktek puasa yang dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia sudah memancangkan aspek kultural dari ibadah puasa. Saya senang menyandingkan momen ini dengan kondisi dimana umat Islam di belahan lain di dunia, termasuk Timur Tengah. Kemeriahan yang dihadapi umat Islam menjelang ibadah puasa begitu variatif.
Di pelbagai daerah di tanah air, budaya tersebut tersuguh dengan warna yang khas. Ada padusan, dugderan, sedekah laut, bersih kuburan dan lain-lain. Pemandangan yang tidak bisa dinikmati di Arab Saudi sekalipun. Karena memang praktek tersebut khas muslim Indonesia. Bahkan, praktek tersebut pada gilirannya, tidak hanya melibatkan warga muslim tetapi juga segenap lapisan masyarakat.
Puasa dan toleransi adalah dua barang yang tidak boleh dipisahkan. Kalau biasanya toleransi itu kerap dialamatkan kepada mereka yang tidak berpuasa untuk menghormati yang berpuasa, saya ingin berpikir sebaliknya. Saya ingat sekali kalau KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seringkali mengingatkan umat Islam untuk tidak selalu merengek agar mereka dihormati saat berpuasa.
Satu contoh adalah permintaan agar warung makan harus ditutup karena dianggap mengganggu kenyamanan berpuasa. Kata Gus Dur, biarkan saja warung makan itu buka, selain karena mungkin itu satu-satunya pemasukan pemiliknya, bukanya warung makan justru sebagai salah satu cara agar mereka yang berpuasa semakin pintar mengelola nafsu dan sabarnya.
Jadi pada prinsipnya, toleransi dalam berpuasa tidak berjalan monolog. Ada take and give antara yang berpuasa dan tidak berpuasa. Mereka yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa, dan begitu juga sebaliknya. Yang berpuasa harus memahami bahwa ada juga mereka yang tidak berpuasa, sehingga haknya harus dihormati.
Agama dan Lokalitas
Puasa, jika kita tempatkan dalam relasi agama dan lokalitas atau budaya lokal karenanya mesti akan menekankan pada aspek yang dipahami sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat. Ruang demografis yang berbeda, membuat konstruksi kebudayaan menjadi sangat variatif. Masing-masing memiliki konsepsi yang beragam mengenai agama dalam frame masyarakat.
Dengan menggunakan perspektif ini bisa dikatakan bahwa body agama sesungguhnya adalah entitas yang historis meski didalamnya ada kehendak Tuhan yang suprahistoris. Agama (baca: puasa) itu sendiri historis karena diturunkan dalam masa tertentu dan hadir dalam lanskap yang bisa terdeteksi. Islam lahir di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu. Semuanya hampir terkena kategori entitas yang menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.
Dari sini, maka bisa dikatakan bahwa Islam atau budaya yang sekarang dianggap sebagai Islami, tidaklah berasal dari satu kelompok masyarakat tertentu. Islam begitu terbuka untuk mengakomodasi berbagai jenis kebudayaan selagi masih bisa mempertahankan dan mengembangkan universalitas nilai yang ada dalam Islam. Termasuk dalam konteks ini adalah puasa. Meski ada aspek syari’at dalam ibadah puasa, tetapi polesan budaya membuat puasa menjadi lebih berwarna.
Dan sebenarnya, semangat itulah yang sejak awal dicanangkan oleh para penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Strategi dakwah yang dilakukan oleh Walisongo adalah satu bentuk syiar agama Islam tanpa memberangus kearifan masyarakat setempat. Meminjam bahasanya Gus Dur (Abdurrahman Wahid), inilah apa yang dinamakan sebagai pribumisasi Islam. Artinya Islam dihadirkan namun dengan wajah budaya setempat karena sesungguhnya Islam itu sendiri agama hibrida. Yang tetap adalah nilainya sementara tampilan wajah bisa dipoles dan dirubah sesuai dengan kebijaksanaan budaya lokal.