Oleh: Tedi Kholiludin
*Catatan dari Diskusi Masa Depan Agama dan Agama Masa Depan
Bagaimana prospek agama di masa yang akan datang? Apakah format agama masa depan sama dengan yang sekarang kita kenali?
Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu menjadi bahan diskusi menarik di Kantor Yayasan ELSA yang dipantik oleh Prof John Titaley, Rabu (20/4/22). Tulisan ini merupakan catatan ringkas dari presentasi Guru Besar Ilmu Teologi tersebut.
Dua orang yang bisa dirujuk untuk melihat bagaimana signifikansi agama adalah Emile Durkheim dan Peter Berger. Keduanya menunjukan betapa agama memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.
Ketika menulis “Division of Labour in Society,” Durkheim menyimpulkan, pada masyarakat dengan solidaritas organis, peran agama akan sangat minimalis. Pada masyarakat ini, ketika pembagian kerja sudah dikerjakan, maka orang sudah tidak memerlukan sumber integrasi yang menguatkan seperti agama. Beda halnya dengan masyarakat yang mengandalkan solidaritas mekanis.
Namun, kata John, Durkheim menemukan fenomena yang menggelitik; bunuh diri. Ia menelaah peristiwa tersebut lalu dituliskan dalam “Suicide: A Studi in Sociology.” Dalam “Suicide” Durkheim melihat kalau saluran-saluran (keagamaan) yang melibatkan banyak berpotensi mencegah atau meminimalisir praktik bunuh diri. Dari sini, Durkheim menyimpulkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ditulis di “Division of Labour in Society.”
Keingintahuannya atas agama yang menggiringnya untuk melihat bentuk-bentuk dasar dari agama. Telaahnya dituangkan dalam “Elementary Forms of Religious Life.” Disinilah Durkheim menemukan format dari agama yang bisa ditemukan pada sesuatu yang sakral, totem, dan lain sebagainya.
Seperti halnya Durkheim, Berger juga membaca situasi serupa. Dalam “The Sacred Canopy” Berger tidak melihat adanya vitalitas agama di kemudian hari. Namun, ia merevisi kesimpulannya tersebut dalam pengantar buku untuk “The Desecularization of the World.” Dalam setiap telaah sosial, adalah kemestian untuk melakukan analisis atas persoalan agama.
***
Pada setiap agama, kata John mengutip Swidler dan Mojzes, selalu memuat 4 unsur; Creed, Cult, Code dan Community. Dalam diksi lain, John membahasakan kalau dalam agama itu ada sistem simbol, tindakan, refleksi dan organisasi. Sistem simbol sebangun dengan creed, tindakan sejalan dengan cult, refleksi selaras dengan code dan komunitas tak lain adalah organisasi.
Betapapun agama terus berjalan dalam bentangan sejarah, empat unsur itu tak akan pernah berubah. Ia selalu hadir dalam apa yang disebut agama. Betapapun agama-agama itu beralihrupa, tetapi isinya akan selalu mengandung unsur-unsur tersebut.
John lalu menyinggung tentang evolusi agama seperti yang dikenalkan Robert Bellah dalam “Beyond Belief.” Secara evolutif, agama berkembang dari model primitif, arkhaik, historis, pra-modern hingga modern. Pada setiap fase perkembangan ini, isi dari agama berupa sistem simbol, refleksi, tindakan serta organisasi, tetap terjaga. Yang berbeda hanyalah ekspresinya.
Selain itu evolusi yang digambarkan Bellah juga tidak bermaksud untuk menunjukkan keunggulan agama pada fase tertentu. Agama primitif lebih terbelakang dari agama modern misalnya, dan seterusnya.
Yang pada intinya, agama akan terus bertahan meski ia beralihrupa. Itulah kira-kira gambaran formasi agama di fase kehidupan berikutnya.