Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono

Langit Salatiga Senin sore 18 Maret 2024 tak secerah biasanya. Tak ada semburat lembayung senja di atas rumah berwarna putih milik Pendeta Izak Y.M. Lattu waktu itu. Sore itu saya dan salah satu mahasiswa muslim yang berkuliah di program Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Azis diundang untuk buka bersama di rumah Pendeta yang akrab disapa Chaken tersebut.

Buka bersama ini adalah kali pertama bagi saya di Ramadhan 1445 Hijriah. Tidak seperti buka bersama tahun-tahun sebelumnya, buka bersama ini terasa lebih spesial bagi saya, karena dapat berbuka bersama kawan-kawan Kristen satu kelas dalam mata kuliah lived religion di rumah Kak Chaken yang sekaligus menjadi dosen mata kuliah tersebut.

Saya dan beberapa kawan yang datang tidak langsung bertemu dengan Kak Chaken. Kami disambut dan dipersilahkan masuk oleh mbah-pekerja rumah tangga di rumah Kak Chaken. Tak lama berselang Kak Chaken datang bersama istrinya, mbak Retno. Dengan kemeja warna krem dan celana levis kami disambut hangat oleh Dekan Fakultas Teologi UKSW tersebut.

Sembari menunggu berbuka kami berbincang banyak hal, mulai topik kuliah, penelitian hingga hal yang sedang tren akhir-akhir ini. Salah satu hal yang kami singgung dalam obrolan tersebut adalah tren perang takjil yang terjadi antara umat Kristen dan Islam. Tidak sedikit unggahan di media sosial berisikan konten tentang umat Kristen yang turut membeli takjil. Unggahan yang ada dikemas dalam bentuk parodi dan terkesan lucu.

Pada momen tersebut, Kak Chaken berbagi kepada kami tentang bagaimana perspektif beliau melihat tren “berebut takjil buka puasa” tersebut. Bagi beliau, berburu takjil adalah momen yang ditunggu oleh semua umat beragama yang ada di Indonesia. Mendengarkan penjelasan beliau, saya memiliki pemaknaan bahwa, takjil buka puasa bukan hanya dimonopoli klaimnya oleh umat Islam, akan tetapi takjil adalah hidangan yang ditunggu oleh setiap orang tanpa memandang apa agamanya.

Baca Juga  Bertahan dan Beralihrupa: Format Agama Masa Depan

Sebagai contoh, dapat kita lihat di sepanjang jalan depan area Pasar Raya Salatiga pada sore menjelang berbuka puasa. Para penjual maupun pembeli tidak terbatas kawan-kawan Muslim, namun dari berbagai latar belakang agama. Artinya, momen berburu takjil buka puasa ini dapat menjadi arena perjumpaan dengan mereka yang berbeda latar belakang agama.

Di samping itu, meminjam istilah dari Izak Lattu, momen berburu takjil ini dapat menjadi sarana membentuk imajinasi bersama tentang ke-bhineka-an bagi seluruh masyarakat dengan berbagai latar belakang agama yang turut membeli takjil di bulan Ramadhan ini. Momen berburu takjil yang dalam beberapa unggahan di media sosial diparodikan sebagai persaingan antara umat Islam dengan umat agama lainnya seperti Kristen ataupun Katolik, ternyata memiliki sisi positif dalam merekatkan rasa keindonesiaan serta kebhinekaan para pelakunya.

Buka Bersama sebagai Social Cement

Berbuka menjadi momen yang paling ditunggu bagi setiap umat Islam yang menjalankan puasa. Pada momen ini, tiap-tiap orang akan melepas dahaga dan lapar setelah berpuasa selama 13 sampai 14 jam. Dalam sudut pandang teologi Islam, setiap orang berpuasa dijanjikan dua kebahagiaan dijanjikan. Pertama, kebahagiaan saat berbuka, kedua kebahagiaan saat bertemu Tuhannya.

Bila memakai kaca mata teologi saja, kita akan melihat seolah-olah buka bersama menjadi momen yang ditunggu dan dimiliki oleh umat Islam saja. Faktanya, di Indonesia buka bersama adalah momen yang dinantikan oleh berbagai umat agama. Ini disebabkan karena, buka bersama bukan lagi menjadi suatu acara keagamaan (Islam) saja namun, menjadi acara untuk merayakan keberagaman. Ini dapat dilihat bagaimana buka bersama bukan hanya menjadi acara yang hanya dihadiri oleh umat Islam saja, namun umat agama lain juga turut ambil bagian dalam kegiatan di setiap Bulan Ramadhan ini.

Baca Juga  Membayar Tuntas Tradisi yang (Sempat) Lepas: Ramadlan Pasca Pandemi

Dari situ, bila dilihat dari sisi sosiologis, buka puasa juga memiliki nilai baik dalam merawat sebuah kelompok, masyarakat, bahkan sebuah bangsa. Secara sosiologis, buka puasa utamanya buka bersama memberikan dampak baik bagi siapa saja yang turut terlibat di dalamnya. Sebagai sebuah ritual, buka bersama mampu menjadi satu cara untuk membentuk solidaritas bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Melalui buka bersama solidaritas antar individu dirawat dan dikuatkan. Masing-masing orang yang datang akan melakukan interaksi satu sama lain. Mereka akan berbincang, berjumpa, dan makan serta minum bersama dalam satu meja. Secara tidak langsung, buka bersama menjadi social cement atau perekat sosial (Lattu 2023) yang menguatkan ikatan satu sama lain sebagai kelompok atau masyarakat.

Di dalam buka bersama ini, setiap orang akan dikuatkan ikatannya sebagai sebuah satu kesatuan melalui hal sederhana seperti bercerita tentang masa lalu. Melalui cerita ini masing-masing orang akan terbentuk imajinasi kebersamaan yang mendorong terciptanya solidaritas walah dengan identitas keagamaan yang berbeda.

Referensi:
Lattu, Izak Y M. 2023. “Folksong, Oral Narrative, and Collective Memory.” In Rethinking Interreligious Dialogue, Brill Schöningh, 31–60.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Bung Hatta dan Demokrasi Kita yang Masih Sama Saja

Oleh: Sidik Pramono Buku yang berjudul Demokrasi Kita ini merupakan...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini