(Bukan Sekadar) Menata Jalan, (Tapi Juga) Menata Ingatan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin

Ketika mendung menggelayut dan air hujan sepertinya akan segera diaktivasi, saya segera bergerak menuju destinasi utama; Kampung Melayu, daerah penting yang ada di wilayah utara Kota Semarang. Motor segera saya bawa masuk ke halaman Masjid Layur. Selain untuk menunaikan sholat dluhur, saya ingin menikmati kawasan ini pasca selesai direvitalisasi awal tahun 2023 oleh Pemerintah Kota Semarang yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Masjid Layur sendiri, tak banyak mengalami perubahan, karena bangunan ini memang sudah masuk cagar budaya, sehingga tidak boleh diubah bentuknya. Hanya ada perbedaan sedikit dengan kondisi sebelumnya. Di depan masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Menara, terpampang informasi singkat yang ditampilkan melalui kotak hitam, lengkap serta foto masjid di sekitar tahun 1920-an.

Sejak masuk “gerbang” Kampung Melayu yang secara administratif ada di wilayah Kelurahan Dadapsari Semarang Utara, perubahan memang terasa. Di pintu masuk, instalasi berbentuk kapal laut menyambut. Kapal menjadi simbolisasi yang sangat dekat dengan kehidupan warga Kampung Melayu hingga awal abad 20. Di wilayah ini terdapat sungai yang bermuara hingga Laut Jawa. Sungai itu membelah Kota Semarang dan pada masanya menjadi jalur lalu lintas yang sangat penting. Semarang, pada masa lalu dikenal sebagai Venesianya Indonesia. Alasannya, tentu karena sungai yang menjadi penggerak mobilitas warganya.

Selain replika kapal, infrastruktur lain yang secara fisik membedakan dengan sebelumnya adalah penataan jalan di Jalan Layur yang lebih nyaman. Pemasangan batu andesit, seperti halnya di kota lama, membuat jalanan lebih terlihat rapi. Jalanan yang diperbaiki kurang lebih 10 kilometer meter panjangnya. Dengan jalan yang sudah dipermak itu, Jalan Layur terkoneksi dengan Jalan Kakap, Jalan Petek, Jalan Dorang dan seterusnya. Tak hanya jalan, bahunya pun dipercantik. Para pejalan kaki dibuat lebih nyaman untuk merasakan atmosfir masa lalu di Kampung Melayu.

Baca Juga  Plesiran Wartawan, AJI Semarang Kritik Pemprov Jateng

***

Revitalisasi sebuah kawasan, sejatinya, tak hanya melibatkan penataan jalan (baca; infrastruktur) tetapi juga ingatan. Perbaikan secara fisik tentu saja penting, karena itu sebagai bentuk komitmen menjaga warisan agar bisa dikenali cerita dibaliknya. Namun, penyelamatan atas bangunan fisik tersebut, di saat yang sama juga memerlukan terpeliharanya ingatan warga kota atas kisah yang dipanggungkan di sebuah kawasan. Ini yang harus digenapi dalam proyek revitalisasi tersebut.

Kampung Melayu merupakan situs yang menjadi penanda pertumbuhan Kota Semarang. Mengingat letaknya yang berada di pinggir Kali Semarang menuju laut, maka kawasan ini sudah pasti dicirikan oleh keragaman etnis serta budaya masyarakatnya. Para peniaga dari Gujarat, Tiongkok, Arab, dan lainnya, termasuk dari wilayah Nusantara seperti Banjar, Bugis dan Cirebon, bertemu dan melakukan kontak di wilayah ini.

Pluralitas etnis, tradisi dan budaya, merupakan ciri utama dari masyarakat di Kampung Melayu. Tak hanya etnis sebenarnya, tetapi keragaman juga terdapat pada madzhab serta afiliasi keagamaan, khususnya pada masyarakat muslim.

Pada Hari Sabtu, 5 Februari 1927, bertepatan dengan 2 Sya’ban 11345 H, Hoofd Bestuur Moehammadijah (Muhammadiyah) dari Departemen ‘Aisyiyah datang ke Semarang. Yang datang ke kota tersebut adalah Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan. Tujuannya kehadiran Nyai Ahmad Dahlan adalah menata Perempuan di Semarang agar disana juga bisa didirikan ‘Aisyiyah. (Djawa Tengah, 07/02/1927).

Kegiatan yang diikuti oleh kurang lebih 25 “kaoem istri” tersebut dihelat di rumah S. Achmad Machroos di Kampung Darat. Disinilah, tempat dimana Muhammadiyah mengawali langkah untuk menata organisasinya dan kemudian bertumbuh di Kota Semarang. di rumah Achmad Machroos itu, Nyai Ahmad Dahlan membabar tentang apa yang menjadi kewajiban kaum Perempuan dalam Islam serta menjelaskan tentang perbedaan antara Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Baca Juga  Sheilaisme

Komunitas Arab juga sering menghelat kegiatan di Kawasan Kampung Melayu, karena memang ada cukup banyak populasi dari kalangan itu di wilayah tersebut. Dalam “Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie” edisi 17 Juli 1936, warga etnis Arab menggelar “vergadering” di Hotel Larees (nama sebelumnya, Hotel Arabistan). Mereka membahas persoalan wakaf yang dipimpin oleh Sayyid Ali bin Muhammad al-Jufri.

Cerita lain tentang Kampung Melayu adalah jejak Kiai Soleh Darat atau Kiai Haji Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani. Perkembangan Islam di Semarang abad 19 tak bisa dilepaskan dari nama ini, yang juga pernah menjadi guru bagi KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Di tempat dimana beliau dulu melakukan pengajaran, masih terdapat masjid serta maqom atau tempat ia bermukim selama hidup.

Kampung Melayu juga menjadi tempat penting bagi Nahdlatul Ulama (NU) yang melaksanakan muktamar pertama kalinya di luar Surabaya setelah berdiri. Pada 1929, dalam muktamar yang keempat, NU menjadikan Kampung Melayu sebagai tempat digelarnya kegiatan tahunan warga muslim tradisional tersebut. Di Hotel Arabistan, muktamirin menginap dan melaksanakan penutupan di alun-alun Masjid Agung Semarang (Kauman) dimana Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan pidato penutupannya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Militansi di Level Mikro dan Tausiah Politik yang tak Berdampak

Oleh: Tedi Kholiludin Ada dua catatan yang menarik untuk dicermati...

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini