Oleh: Tedi Kholiludin
Seorang teman kuliah dari Papua, Pdt. Eddyson Sekenyap menghubungi saya beberapa hari sebelum ramadhan untuk meminta mengisi kongres pemuda di lingkungan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Teman sewaktu di Salatiga ini sekarang menjadi pengurus di biro pemuda di Sinode gereja tersebut. Kegiatan ini merupakan salah satu agenda di divisinya.
Saya diminta mengisi materi tentang religiusitas di Papua. Tapi saya sampaikan, materi itu tentu lebih baik jika bukan saya yang menyampaikannya, karena saya tidak menguasainya. Ada banyak orang Papua yang paham tentang ide tersebut. Eddyson mungkin hanya ingin bersua saya setelah pada tahun 2014 sempat bertemu beberapa saat. Makanya, tema kemudian dia bikin fleksibel. Dia bilang kalau yang tertulis biarkan tentang religiositas, tetapi nanti saya berbicara soal tantangan kehidupan beragama.
Rabu (6/6) saya berbagai pengalaman dengan 200an peserta di sebuah gereja di Sentani, Papua. Kasus Papua sesungguhnya agak sedikit berbeda dengan pengalaman di masyarakat Jawa yang selama ini saya gumuli. Jika isu dominan dalam masyarakat Jawa yang selama ini saya cermati adalah tentang masalah intoleransi atas dasar agama, kasus Papua lebih banyak bercerita tentang subordinasi dari sisi sosial, politik dan ekonomi. Secara umum, relasi kehidupan umat beragama di Papua tidak sekritis masalah kesenjangan ekonomi dan politik serta distribusi hasil sumber daya alam.
Kepada teman-teman pemuda gereja, saya mengusulkan untuk terus membangun dialog dengan kelompok non-Kristen. Meski penganut Kristen mungkin adalah mayoritas, tetapi kemauan untuk menjalin keakraban dan kehangatan dengan umat Islam misalnya, sebagai kelompok sosial yang terdekat dengan mereka.
Tak lama setelah menyampaikan hal tersebut, beberapa peserta melontarkan pertanyaan tentang kelompok Islam mana yang memungkinkan untuk bisa diajak bekerjasama.
***
Tentu bukan perkara gampang untuk bisa menjelaskan anatomi gerakan Islam dalam waktu satu atau dua jam. Begitu variatifnya ideologi, latar belakang dan tujuan kelompok-kelompok Islam begitu sulit untuk didedah dalam sebuah forum dengan waktu terbatas.
Saya berusaha untuk menghindari identifikasi berdasarkan karakter-karakter fisik. Misalnya ideologi keagamaan tertentu seperti yang tercermin dalam cara berpakaian atau ciri fisik tertentu dalam anggota tubuh. Maka, hal yang paling mungkin untuk mengetahui apakah sebuah kelompok itu eksklusif atau inklusif, adalah melalui sebuah proses interaksi yang intens. Disinilah dialog dibutuhkan.
Penjelasan saya seperti ini masih belum cukup memuaskan. Saya bisa memahami kebutuhan teman-teman. Mereka adalah wakil dari klasis yang bersentuhan dengan akar rumput. Meski dialog di level keseharian itu sudah dilakukan, tetapi mereka melihat bahwa ada perbedaan antara Islam yang satu dengan yang lain.
Salah satu teman yang kebetulan seorang dosen Teologi bercerita, ia meminta mahasiswanya datang berkunjung ke masjid-masjid sebagai bagian dari upaya membangun komunikasi lintas budaya. Ada banyak masjid yang menolak mahasiswa tersebut, meski ada juga yang menerimanya.
Keadaan inilah yang mendorong mereka bertanya tentang kelompok mana yang bisa diajak dialog dan mana yang perlu diwaspadai. Sekali lagi, saya menegaskan, pada gilirannya, mau tidak mau kita harus mengobrol dan berbicara. Intensitas pergaulan itulah yang pada akhirnya bisa dijadikan sebagai alat untuk menarik sebuah kesimpulan. Bahkan, saya menambahkan, kelompok yang eksklusif sekalipun mungkin akan berubah cara pandang saat diberikan peran, dilibatkan dan diakui sebagai bagian dari kelompok sosial.
***
Hingga kemudian, saya mengusulkan cara yang agak taktis.
Dalam konteks masyarakat Papua yang sangat kuat memegang adat, tradisi dan budaya, maka penting untuk membuka dialog dengan kelompok Islam yang punya visi untuk bersikap akomodatif terhadap budaya. “Kalau secara institusional, ya kelompok NU, Nahdlatul Ulama,” saya menandaskan.
Sepanjang amatan saya, meski tidak sedikit orang NU yang konservatif atau tradisional, tetapi sikap itu tidak kemudian sampai pada tindakan-tindakan destruktif yang merugikan harta benda milik orang lain. Jadi, NU di Papua cocok dijadikan sebagai mitra dialog.
Ternyata, beberapa teman peserta sudah memulai dialog-dialog karya di lingkungan jemaatnya. Mereka bekerjasama dalam pelbagai kegiatan dengan mengundang saudara-saudaranya umat Islam.
Sesaat setelah kegiatan selesai, saya dan beberapa teman berjalan-jalan ke Kota Jayapura. Tanpa sengaja, mobil yang saya tumpangi melewati sebuah sekolah dibawah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Juga ada plang GP Ansor Papua disana. Saya kemudian katakan kepada teman satu mobil, kalau melihat papan nama seperti itu, masuklah dan bercakap-cakaplah, pasti ada kehangatan dan banyak titik temu.
“Biar lebih gampang, begini saja. Carilah gedung atau pesantren yang ada logo NU atau foto Gus Dur didalamnya. Insya Allah, tidak meleset, ” saya memberi tips praktis.