“Dan… ada Kehidupan dalam Kematian”

Oleh: Tedi Kholiludin

Galibnya, kita kerap mengamini pasangan-pasangan yang bersifat antonim sebagai sebuah premis. Membacanya sebagai sesuatu yang kaku, pasti. Misalnya, hidup dan mati. Kehidupan seringkali dilambangkan sebagai oponen dari kematian. Begitupun sebaliknya. Kematian adalah antitesis dari kehidupan. Pada setiap kematian, disana tak ada kehidupan dan kala kita bersua dengan yang hidup maka ia belum mati.

Hubungan-hubungan yang dipercaya sebagai pola antagonis itu, tak seutuhnya saling meniadakan satu dengan lainnya. Orang yang tidak kaya, belum tentu miskin. Yang bagus, tidak selalu jelek. Dan seterusnya.

Selain tidak sepenuhnya menafikan, yang selama ini dianggap berkebalikan juga berpotensi menghadirkan kemungkinan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Putih dilawankan dengan hitam. Padahal, selain dua warna itu, ada yang lain; merah, hijau, biru dan lainnya. Saat kita tak menghendaki panas, bukan berarti itu artinya kita akan bersua dingin karena masih ada hangat.

Bahkan, jika ditilik lebih jauh, pada setiap apa yang kita anggap berpunggungan itu, sejatinya justru saling berhubungan. Kita bisa menemukannya dalam frase “hidup-mati” yang didalamnya tak sekadar soal negasi, tetapi juga relasi.

***

Kematian Yesus Kristus di tiang salib, dengan benderang, mengingatkan kita tentang pengampunan akan dosa (Roma 6:23). Pengampunan itu terjadi melalui penebusan yang dilakukan oleh Dia (Kolose 1:14). Ketika Adam melakukan dosa, maka hal tersebut menjadikan seluruh manusia berdosa. Begitu juga ketika Yesus meninggal, maka kematiannya tersebut menghapus dosa orang yang beriman padanya.

Di tiang Salib, ketika darah mengalir deras, Yesus bersikukuh memohon pengampunan pada Allah. Bukan untuk dirinya, tetapi kepada mereka yang menyalibnya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34). Kasih Yesus melampaui segalanya. Saat matanya terlihat redup, cintanya semakin hidup.

Baca Juga  Ayah Memasak: Keadilan Gender di Ruang Privat

Pengorbanannya bukanlah akhir, tapi menjadi awal dari segala perjalanan. Kematiannya, justru menghidupkan. Manusia hidup dalam dimensi baru dengan bekal pengorbanan yang telah diberikan oleh Kristus. Alangkah meruginya mereka yang percaya Yesus tapi tak sedikitpun meneladani laku spiritualnya; memercikkan kasih bahkan kepada yang memusuhinya sekalipun.

Ketegaran dan ketabahannya, diakhiri dengan penyerahan, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46).

***

Pada kisah penyaliban Yesus inilah kita menemukan kebijaksanaan pada tempat atau peristiwa yang tak terperkirakan. Ada kasih didalam luka, ada kelembutan pada (tindakan) kekerasan, ada kehormatan dalam kenistaan. Dan, ada kehidupan dalam kematian.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini