
[Jayapura –elsaonline.com] Di Tual, ibu kota Kepulauan Kei, Maluku pos misi Katolik-Roma sudah ada sejak tahun 1882. Kehadiran mereka menjadi alasan berkembangnya Katolik di Papua. Seorang pater Yesuit, Le Cocq d’Armandville memprakarsai percobaan tersebut. Di Tual, sang pastur mampu mempermandikan 64 orang. Ia kemudian berlayar menuju Fakfak. Tapi ia meninggal pada bulan April 1895.
Pada gilirannya, Katolik justru berkembang pesat di Merauke dan wilayah lain di pantai selatan. Pada tahun 1920, terjadi pertumbuhan luar biasa dalam karya misi Katolik. Di daerah seperti Muju, Digul, dan Utumbuwu atau Agatz mereka membangun pos pelayanan. Juga di Mimika, pantai barat Papua serta danau-danau Wissel setelah tahun 1935.
Akhir 1930-an ada kurang lebih 11.000 orang Katolik di Papua. Di Papua Selatan ada 4704, Mimika sebanyak 4187, Fakfak terdapat 1468, Boven Digul sebesar 648 dan di Manokwari sekitar 232 jemaat Katolik ada di sana. Komposisi itu menunjukan bahwa perkembangan Katolik lebih banyak berpusar di daerah pantai selatan.
Secara geografis, mestinya daerah Kepala Burung yang lebih dekat ke Kei. Setidaknya daerah itulah yang mestinya bisa secara langsung mendapatkan sentuhan dari misi Katolik, karena jarak yang tidak terlalu jauh.
Rupanya ada perjanjian yang dibuat antara misi Katolik dengan zending Protestan. Pemerintah Belanda mengatur masuknya zending dan misi dalam pasal 23 Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) dan dipertahankan di dalam pasal 177 Undang-undang Hindia Belanda (Wet op staatsinrichting van Nederlandsch-Indie) tahun 1925. Banyak hal yang diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah di situ.
Salah satu hal yang dihindari oleh pemerintah adalah hadirnya double missie atau misi rangkap. “Orang Eropa berpendapat itu tidak efektif dan berdampak buruk untuk prestise orang Eropa,” sebut P.J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas. Makanya penyelesaian secara teritorial dianggap sebagai pilihan yang tepat.
Di tahun 1912 dibuat satu garis yang berjalan dari timur ke barat, melalui Pegunungan Sentral akan menjadi garis pembatas lingkup pengaruh kelompok Protestan dan Katolik. Namun, pengaturan ini dirasa tidak menguntungkan orang Katolik. Karena dengan begitu, mereka akan ada di wilayah Selatan yang gersang, dan sekilas seperti tak ada harapan cerah di sana.
Karenanya, tahun 1920, misi Katolik mengincar Fakfak dimana zending Protestan terlebih dahulu ada disitu. Misi Katolik kemudian memintah pemerintah Belanda di Den Haag untuk menghapus aturan tentang garis teritorial tersebut. Peraturan tahun 1912 itu memang bertentangan dengan kebebasasan beragama yang ada dalam Undang-undang Dasar Belanda.
Den Haag menyerah. Tahun 1928, kemudian diselenggarakan konferensi di Ambon antara wakil zending dan misi. Munculah gentleman’s agreement, dimana tidak lagi diperlukan persetujuan pemerintah untuk mendirikan pos zending atau misi, tapi dimana para pihak berjanji bahwa mereka akan menghormati kepentingan masing-masing.
Dicabutnya batas itu, tentu mengakibatkan munculnya persaingan di antara mereka. lalu dibuatlah perjanjian baru. Isinya antara lain mendorong pendirian satu stasi Katolik-Roma di Fakfak. Setelah itu, misi Katolik serius menggarap selatan terutama setelah menemukan penduduk padat di sekitar danau Wissel. Di sisi lain, orang Protestan juga mengarahkan bidikan ke sana. Ini terutama dilakukan oleh Gereja Protestan Maluku (GPM). Mereka beralasan bahwa di sana ada masyarakat kecil Maluku yang bekerja sebagai amtenar dan pekerja swasta yang membutuhkan pelayanan. Gesekan pun tak dapat terhindarkan.
Meski terjadi persaingan, para pihak toh pada akhirnya bisa mengakui hak yang wajar dari masing-masing dan dengan demikian, dapat mempertahankan satu modus vivendi. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]