Dari Sangsi ke Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation di Jawa Tengah

[Semarang -elsaonline.com] Akhir Desember 2017 lalu, saya mendapat “perintah” yang cukup menantang; mengumpulkan guru-guru PAI di SMA dan SMK se Jawa Tengah. Titah itu datang dari teman-teman yang bekerja untuk kemanusiaan di Wahid Foundation –selanjutnya ditulis W–. Tak ada kata lain selain “siap”, meskipun mulanya belum ada gambaran, bagaimana supaya dapat mengumpulkan guru sejumah 35 orang itu.

Bermodal acuan kegiatan (tor), manual acara, dan gambaran tujuan kegiatan, saya mulai mencari kontak, baik melalui perorangan maupun internet. Dari sebuah situs Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI Jateng, kontak Ketua MGMP PAI Drs. Khoiri saya dapatkan.

Singkatnya, mulailah pekerjaan yang menantang itu. Mengapa menantang? Pertama, guru agama Islam di sekolah umum mempunyai peranan penting dalam “menghitam-putihkan” pemahaman keagamaan Islam para siswa. Kedua, guru PAI juga mempunyai peranan penting dalam pengembangan organisasi keagamaan Islam (Rohis) di sekolah.

Padahal, kala itu WF belum lama merilis hasil survei terhadap Rohis (tahun 2016) dan hasilnya cukup mengejutkan. Survei menunjukan bahwa sebanyak 86 persen siswa aktivis Rohis di SMA berminat untuk jihad ke Suriah. Siswa yang berminat ke suriah itu kebanyakan memiliki kecerdasan dan prestasi di atas rata-rata. Bukan saja hasil survei WF, penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menunjukan bahwa aspirasi guru agama terhadap penerapan syari’at Islam pun cukup tinggi.

Penelitian menunjukan, guru agama yang setuju pemerintah berdasarkan syari’at Islam mencapai 78 persen. Dan guru yang mendukung ormas dalam memperjuangkan syari’at Islam mencapai 77 persen. Yang lebih mencengangkan, ada 18 persen guru agama yang tidak setuju bahwa Pancasila dan UUD ’45 sejalan dengan syari’at Islam.

Berkaca pada data-data itu, ada sedikit “beban” pikiran, “mungkin saja guru-guru yang akan saya jumpai juga nanti mempunya kesamaan pemahaman keagamaan dengan hasil survei dan penelitian di atas”.

Padahal, para manajer program Aprida Sondang dan Hafizen, memberi tema kegiatan “training dan lokakarya guru Pendidikan Agama Islam untuk penanggulangan intoleransi dan radikalisme dari sekolah “Toleran Guruku, Damai Indonesiaku”. Tentu kata-kata seperti intoleransi dan radikalisme di sekolah akan jadi pertanyaan besar para guru calon peserta lokakarya.

“Bagaimana kalau guru-guru yang saya jumpai dan dijadikan peserta kegiatan adalah guru yang memiliki pemahaman intoleran,” tanya saya kepada Aprida dan Hafizen kala itu. “Ya betulan malah, bagus. Nanti pada kegiatan itu akan diskusi dan menghadirkan kiai top, Kiai Abd. Moqsith Ghazali,” jawab Hafizen kala itu. Akhirnya saya mantap.

Antusias
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan, Ketua MGMP PAI SMA dan SMK Provinsi Jawa Tengah akhirnya bersepakat untuk mengirimkan peserta sejumlah total 35 orang. Kegiatan yang berlangsung 18 hingga 20 Desember 2017 bertempat di Hotel Amanda Hills Bandungan, Kabupaten Semarang.

Antusias guru terhadap kegiatan itu luar biasa. Para guru yang tergabung berasal dari Brebes, Kendal, Kota Semarang, Jepara, Demak, Purwodadi, Magelang, bahkan dari Sragen. Rata-rata mereka berangkat mengendarai sepeda motor. Bulan Desember kala itu. Curah hujan tinggi, cuaca di kaki Gunung Ungaran pun cukup dingin. Bahkan sesekali berselimut kabut. Nyatanya, hawa dingin tak berbanding lurus dengan suhu kegiatan di kelas. Tetap hangat, bahkan sesekali memanas.

Suasana kelas yang hangat; pertanyaan, sanggahan, dan kritik sudah muncul sejak awal kegiatan dimulai. Namun semua itu sudah diduga. Sejak para peserta mengisi form registrasi, sudah banyak yang “rumpi tipis-tipis” mempertanyakan apa tujuan kegiatan, siapa pelaksana kegiatan, kok tidak ada logo pemerintah-Kemenag dan lain sebagainya.

Raut wajah yang mulanya tegang sedikit renggang setelah yang membuka kegiatan ada perwakilan dari Kanwil Kemenag Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Terlebih, ketika kedua perwakilan pemerintah itu kemudian membuka dan mendukung kegiatan secara penuh.

Pembukaan selesai. Sesi per sesi materi dimulai. Sesi pertama di awali dengan pemaparan hasil riset tentang Rohis, potensi intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Selesai sesi awal, peserta “rasan-rasan” tentang apakah survei akurat atau tidak, siapa yang di survei, didanai siapa, dan sebagainya mulai bermunculan.

Sesi kemudian dilanjutkan sharing pengalaman di masing-masing sekolah tentang Rohis. Pada sesi ini mayoritas guru mengatakan “sekolah kami baik-baik saja”. Namun, mimik muka dan nada bicara yang tidak los, menggambarkan seolah ada “ketakutan” kondisi Rohis sesungguhnya terungkap di forum.

Meskipun demikian, ada juga yang terus terang tentang kondisi sesungguhnya. Bahkan, ada yang bercerita tentang pengalamannya mengintip kegiatan “pembaiatan” Rohis hingga jam 2 dini hari. Materi-materi yang disampaikan pada pembaiatan juga dinilainya cukup ngeri. “Sekelas anak SMA diberikan pemahaman tentang negara kafir-thogut dan semacamnya,” cerita salah satu guru.

Sangsi “Indikator” Intoleransi
Puncaknya, ketika materi tentang “guru memahami nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan dalam Islam” selesai. Pemateri pada sesi ini Kiai Abdul. Moqsith Ghazali yang merupakan pengurus komisi kerukunan antarumat beragama MUI.

Kiai Moqsith, begitu sapaannya, menjelaskan tentang toleransi, saling menghargai, dan perdamaian antar agama dengan sangat titis dan detail. Dengan gaya ceramahnya yang ala-ala kiai, menjadikan mudah dipahami dan kondisi forum sedikit rileks. Satu dua ayat disampaikan lengkap dengan tafsirnya secara gramatikal. Inilah yang kemudian para guru manggut-manggut.

Kondisi pelatihan semakin dinamis pasca sesi ini. Ada beberapa guru yang balik kanan. Alias tidak melanjutkan pelatihan dan tanpa pamit panitia. Alasan formalnya “ada kepentingan yang tidak bisa ditunda”. Saat itulah saya berterima kasih pada tim dokumentasi yang sempat mengabadikan semua peserta. Akhirnya, saya dapat melihat beberapa peserta yang tak dapat melanjutkan pelatihan lewat foto dan video.

Pada sela-sela sesi hari kedua, saya nimbrung bersama kumpulan para guru. Di taman depan aula pelatihan saya mendengarkan baik-baik percakapan mereka. Pada intinya, mereka masih sangsi, ragu, bahkan tidak yakin dengan hasil survei WF. “Indikatornya apa intoleransi itu? Jangan-jangan kita semua masuk kategori intoleransi,” begitu kira-kira obrolan sesama peserta kala itu.

Bahkan ada pertanyaan terlontar yang hemat saya lebih konyol. “Kalau siswa kita, yang beragama Islam sekolah di sekolah atau yayasan milik non-Muslim, mereka tidak mendapatkan pelajaran agama Islam. Apa mereka juga intoleran?” tanya salah satu peserta kepada peserta lainnya. “Nah, betul itu. Banyak juga kan siswa Muslim yang sekolah di yayasan non-Muslim,” timpal sesama peserta.

Pertanyaan soal indikator intoleransi pun masih terlontar di forum kala sesi Hairus Salim dari Yogyakarta saat mengisi pelatihan. Dengan penjelasan yang panjang, Hairus Salim mencoba menggambarkan intoleransi dalam bentuk tindakan yang kerap muncul lengkap disertai dengan contoh-contohnya. Penjelasan Hairus tampak diterima peserta.

Baca Juga  Mogok, Senjata Kaum Buruh Semarang

Sesi demi sesi dilalui. Banyak dinamika terjadi selama pelatihan. Meskipun tidak dapat merangkum dengan persis, setidaknya saya bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Utamanya dari sisi cara pandang, para guru sudah lebih terbuka dan semakin sadar pentingnya merawat dan menjaga organisasi Rohis di sekolah.

“Kadang, yang mengisi materi di kegiatan-kegiatan Rohis itu bukan guru agama. Bahkan, guru agama itu tidak diberi tahu. Mereka mendatangkan narasumber dari luar sekolah. Kita juga tidak tahu siapa mereka dan identitas keagamaannnya. Dulu pernah ada tim densus ke sekolah, kabarnya ada seseorang yang masuk jaringan teroris mengisi acara. Kita juga kaget, semua kaget,” kata salah satu perseta pelatihan.

Pasca 20 Desember 2017 itu, para guru agama berinisiatif membuat Whatsapp grup. Para guru agama penerima manfaat program “sekolah damai” aktif berdiskusi sercara daring. Mereka kerap merespon isu-isu yang muncul di lingkungan pendidikan. Salah satunya soal konten buku atau Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dinilai mengandung muatan intoleransi.

Dalam satu atau dua kegiatan, mereka juga aktif saling berkabar. Ada yang aktif mengikuti kegiatan di luar sekolah dan ada pula yang mengadakan kegiatan di lingkungan sekolah secara mandiri. Masih dalam bingkai tema sekolah damai, satu sama lain berdiskusi baik hasil maupun rencana kegiatan yang akan dilakukan.

Dari diskusi-diskusi sederhana itulah mulai terlihat mana sekolah yang berpotensi dapat mengembangkan nilai-nilai sekolah damai. Dari itu pula tampak mana sekolah serta guru yang masih ragu-ragu dalam mengembangkan budaya damai di sekolah. Inilah rujukan untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan selanjutnya.

Kunjungi Sanggar, Gereja, dan Klenteng
Sebagai wujud keseriusan WF dalam mengembangkan sekolah damai, Maret 2018 Hafizen dan Aprida mengabarkan bahwa akan ada kegiatan lanjutan. Hanya, perintah mereka, tidak semua peserta atau sekolah dilibatkan.

“Program butuh lebih fokus dalam mengembangkan sekolah damai. Jadi, tidak bisa semua sekolah kita ikutkan. Sampean (kepada saya) yang tahu perkembangan di lapangan. Intinya ada 15 sekolah yang akan diikutkan. Dari 15 sekolah itu yang mewakili guru agama dan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah,” kata Hafizen. “Siap,” saya menimpali intruksinya.

Saat menerima perintah untuk memilih sekolah, saat itu pula saya berfikir akan ada “kecemburuan”. Bagaimana tidak, dalam satu grup Whatsapp ada sekolah yang saya pilih ada pula yang harus ditinggal. Padahal, antara mereka sama-sama sedang berupaya mengembangkan budaya damai di sekolah.

Perkara ada sekolah yang sudah mulai jalan dalam wujudkan sekolah damai dan ada yang masih stagnan, mungkin karena ada satu dan lain hal. Atau mungkin tantangan mereka lebih berat. Misal; sekolah-sekolah yang tidak ada perkembangan, mungkin juga tidak didukung kepala sekolahnya. “Dan sangat mungkin para pimpinan di sekolahnyalah yang berpaham eksklusif,” pikir saya dalam hati.

Namun karena itu perintah kantor, harus saya laksanakan. Semua keputusan pasti ada pertimbangan-pertimbangan panjang. Singkat cerita, saya kontak satu persatu guru dan kepala sekolah untuk mengikuti kegiatan pada 30 Maret hingga 1 April 2018. Peserta total 30 orang dari 15 sekolah. Mereka adalah guru agama dan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah yang ditugaskan kepala sekolah.

Pada kegiatan selama tiga hari ini, para peserta tidak hanya diberikan materi yang berbasis teori. Namun, para pahlawan aksara itu juga diberikan kesempatan untuk saling belajar secara praktik; bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Mereka mengunjungi Sanggar (rumah ibadah penganut kepercayaan), Klenteng, dan Gereja.

Rundown acara yang disusun WF juga cukup efektif. Hari pertama, kegiatan masih indoor. Ceramah dan tanya jawab adalah kegiatan yang hingga sekarang dinilai efektif untuk membongkar pemahaman. Intelektual muda NU Abdul Moqsith Ghazali yang bertugas “membongkar-pasang” pemahaman guru agama dan kepala sekolah tentang toleransi dan intoleransi.

Dari tanya-jawab, tanggapan dan dinamika yang berkembang di forum, tampaknya semua sepaham; bahwa nilai-nilai toleransi di sekolah harus diwujudkan. Tak ada perdebatan yang berarti seperti pada kegiatan sebelumnya. Singkatnya, sama-sama merasa perlu untuk menanamkan nilai-nilai ramah terhadap perbedaan keyakinan keagamaan di sekolah.

Pagi hari kedua, para peserta tampak sumringah. Sejak mentari menampakkan sinarnya, mereka sarapan dan sudah lengkap dengan pakaian rapih. Batik atau kemeja lengan panjang mereka kenakan, khas dari guru agama. Setelah persiapan selesai mereka lalu berkumpul di lobi hotel sembari membincang kegiatan hari itu; kunjungan ke rumah ibadah.

“Kelompok saya ke gereja, kalo kelompok saya ke klenteng, nah kalo kelompok saya ini ke rumah ibadah penganut Kepercayaan. Sanggar. Asline saya pengen ke sanggar, saya ingin tahu. Tapi karena panitia masukan saya ke kelompok yang ke klenteng, yasudah, manut,” kata para peserta sahut-sahutan.

Mengingat waktu yang tak banyak, panitia memang memutuskan untuk membagi peserta menjadi tiga kelompok. Tujuannya supaya dialog-dialog atau perjumpaan antara guru agama Islam dan mereka yang berbeda keyakinan itu lebih longgar. Tidak terburu-buru pindah tempat yang akhirnya berujung pada formalitas kunjungan semata.

Para guru agama itu akhirnya berkunjung ke Gereja St Theresia Bongsari Semarang, Sanggar Kepercayaan Sapta Darma (KSD) Kota Semarang, dan Klenteng Tay Kak Sie Semarang.

Kegelisahan Orang Tua
Hafizen sebagai Senior Officer Capacity Building WF menjelaskan, desain kegiatan semacam itu berawal dari kegelisahan orang tua siswa. Mereka gelisah karena siswa khususnya yang duduk di bangku sekolah menengah sangat rentan dengan doktrin ajaran radikal. Bukan saja dulu tapi hingga kini pun masih tetap menghawatirkan.

“Ini merupakan bagian untuk penguatan nilai keragaman dengan melakukan perjumpaan langsung bersama orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda. Yang membuat kita saling curiga, salah satunya karena kita mengalami krisis perjumpaan. Krisis saling mengenal. Karena itu kita kenalkan,” kata Hafizen kepada media, disela kunjungan waktu itu.

Perjumpaan langsung, lanjut Hafizen, sangat memungkinkan untuk saling berinteraksi, saling mengenal lebih dekat. Lalu kedepan memungkinkan untuk bekerja secara kolaboratif. ”Selanjutnya, para guru ini menginternalisasikannya di sekolah dalam rangka kerja-kerja perdamaian khusunya di Semarang dan Jateng,” tambahnya.

Di Gereja St Theresia Bongsari, para guru diterima Pastur Kepala Paroki Santa Theresia Bongsari Romo Eduargus Didik Cahyono, waktu itu. Esensi pertemuan ini menekankan pentingnya menjalin silaturahmi dan kerjasama untuk mencapai cita-cita perdamaian antar agama dan antar identitas yang berbeda.

Baca Juga  Puja-Puji Bersama Pemuka Lintas Agama

Romo menyampaikan, tren baru pelaku teror sekarang dibawah 20 tahun. Tentu, kata dia, yang menanamkan faham radikal itu bukan guru agama, namun ada semacam jaringan dari luar sekolah. Karena itu, yang harus dilakukan sekarang adalah penguatan guru agama untuk memproteksi anak-anak dari paham radikal.

”Paham itu kan disusupkan oleh kelompok tertentu. Untuk itu guru agama harus waspada dengan memfasilitasi bertemu, sehingga muncul sekolah rule model yang tanggap radikalisme, tanggap intoleransi,” kata Romo.

Usai dialog formal, para guru berkeliling gereja. Ada pemandangan menarik dan ada dialog menarik antar mereka. Para guru PAI ini yang awalnya canggung masuk gereja, salaman, dan memilah-milah tempat duduk akhirnya tak tampak lagi keraguannya. Mereka bahkan asyik berswafoto di hampir semua sudut gereja yang asyik nan teduh.

Tak ada lagi prasangka dan tak ada lagi curiga antar sesama, kian saling percaya.

Ini penting. Bahkan sangat penting untuk saat ini dan masa depan generasi muda bangsa kita. Lingkungan sekolah negeri harusnya menampung berbagai macam unsur budaya, adat, agama, dan kepercayaan. Namun nyatanya menyimpan gejolak intoleransi berkepanjangan. Bukan sedang menjeneralisir semua sekolah negeri, tapi kejadian tempo hari di DKI Jakarta adalah faktanya.

Iya, kejadian di Jakarta yang tempo hari viral di media sosial. Di mana seorang guru SMA negeri mengajak murid-muridnya untuk memilih pasangan calon Ketua OSIS yang seagama. Dalam tangkapan layar grup WhatsApp (WA) Rohis, terlihat seorang guru berinisial TS meminta anggota grup supaya tidak memilih calon ketua OSIS yang bergama non-muslim.

“Assalamualaikum…hati2 memilih ketua OSIS Paslon 1 dan 2 Calon non Islam… jd ttp walau bagaimana kita mayoritas hrs punya ketua yg se Aqidah dgn kita,” demikian pesan guru TS dalam tangkapan layar grup WA yang beredar di media sosial.

Guru TS minta para siswa mendukung paslon OSIS nomor 3 karena ketua dan wakil ketuanya beragama Islam. Adapun paslon nomor 1 ketuanya seorang non-muslim dan paslon nomor 2 wakil ketuanya seorang non-muslim. “Mohon doa dan dukungannya utk Paslon 3. Awas Rohis jgn ada yg jd pengkhianat ya,” kata guru TS sebagaimana terekam dalam tangkapan layar grup WA Rohis. (Detik.com, 30/10/20)

Upaya yang dilakukan WF dan guru-guru agama di Semarang, Jawa Tengah tampaknya sederhana. Namun akan terasa istimewa dan luar biasa jika ini juga dilakukan oleh guru-guru di lingkungan SMA yang viral karena menyeru untuk memilih ketua osis yang seagama itu.

Tak Ada Dusta antar Sesama
Masing-masing kelompok punya cerita dan pengalaman yang berbeda. Kelompok yang berkunjung ke rumah ibadah Penganut Kepercayaan Sapta Darma juga punya cerita yang tak kalah menarik. Sejak awal kedatangan para guru, langsung disambut hangat oleh pengrus Sapta Darma Kota Semarang. Mereka berjajar rapih di luar pintu sanggar, sebagai tanda bahwa kehadiran para guru diterima dengan senang gembira.

Mulanya mereka bersalam-salaman canggung. Namun akhirnya membaur larut dalam gelak tawa bersama.

Sebelum suasana itu tercipta, para guru agama dan pengurus Sapta Darma duduk bersama lesehan. Dimulailah acara dengan perkenalan. Ubbadul Adzkiya yang menjadi pengatur waktu membuat sebuah aturan “semua yang ada dalam forum dilarang tersinggung. Posisikan semua dalam keadaan saling belajar. Dan jika ada pertanyaan, murni karena ketidaktauan untuk tujuan memupus prasangka,” kata Ubbed.

Semua dibicarakan dengan terbuka. Tak ada yang menyela dan ada yang menyeka. Semua itu dilakukan supaya tak ada dusta antar sesama. Sesama umat yang beriman, berkepercayaan, dan beragama.

Ketua Pengurus Kepercayaan Sapta Darma Semarang, Yudi S bersama warga sapta Darma lainnya pun memahami setiap pertanyaan yang terlontar. Mereka sangat memaklumi jika para guru agama akan banyak bertanya perihal ritual ibadah, kitab suci, Tuhan, dan cara pembelajaran “agamanya”.

Tak terasa, dialog mendalam tentang Penghayat Kepercayaan khususnya tentang Sapta Darma berjalan hampir tiga jam. Para penganut Sapta Darma tak canggung menjawab berbagai pertanyaan yang terlontar. Bahkan, saat ditanya bagaimana praktik sembahyang, tak ragu Tuntunan (kyai) Sapta Darma mempraktikan sujudan (sembahyang) sebagai ritual ibadah mereka.

Pada pertemuan itu juga terselip pembicaraan mengenai diskriminasi terhadap siswa penganut kepercayaan di sekolah. Selama ini, penganut kepercayaan memang kerap mendapat perlakuan berbeda di lingkungan pendidikan. Bahkan, ada siswa yang tidak naik kelas karena menganut kepercayaan.

“Karena itu, kami mohon kepada ibu bapak guru semua, perlakukan anak-anak kami secara sama dengan anak lain. Kami di Kota Semarang ada sekitar 300 an penganut Sapta Darma, semua anaknya sekolah di sekolah umum (negeri). Karena itu, kami berharap banyak kerpada bapak ibu guru semua,” papar Yudi.

2020; Heboh Guru dan Siswa Intoleran
Pada tahun 2020, terjadi dua peristiwa intoleran di lingkungan pendidikan yang menghebohkan dunia maya. Satu peristiwa terjadi di Jakarta di mana seorang guru SMA negeri mengajak murid-muridnya untuk tidak memilih calon Ketua OSIS non-Muslim. Lengkap dengan peringatan bahwa sebagai mayoritas, harus punya ketua osis yang seagama. Untuk peristiwa ini sudah dijelaskan di atas.

Peristiwa kedua, terjadi di Sragen di mana seorang siswa (tak berhijab) mendapat teror dari oknum pengurus Kerohanian Islam (Rohis) sekolah setempat. Januari 2020 lalu, seorang siswi di SMAN 1 Gemolong Sragen mendapat paksaan berhijab dari oknum Rohis. Siswi Kelas X asal Kecamatan Miri itu merasa diintimidasi pengurus Rohis lantaran kerap dikirim pesan supaya mengenakan hijab.

Intimidasi itu disampaikan melalui pesan Whatsapp (WA). Pada awalnya, pesan itu disampaikan langsung ke nomor siswi berinisial Z tersebut. Oknum pengurus Rohis itu terus menerus mengirimi pesan supaya Z mau berhijab. Isi pesan juga disertai dengan imbuhan menjalankan syariat agama Islam. Hampir setiap hari pesan itu masuk ke nomor ponsel Z sehingga ia merasa terganggu.

“Karena anak saya merasa terganggu dengan pesan-pesan itu, saya meminta dia untuk memblokir nomor pengurus Rohis itu. Setelah diblokir, intimidasi itu ternyata tidak berhenti. Dia tetap mengirim pesan melalui nomor ponsel teman anak saya. Pesan itu lalu diminta disampaikan kepada anak saya,” ucap AP, orang tua Z. Solopos.com, (Rabu, 8/1/2020).

Ini satu peristiwa yang terungkap ke publik. Ini pun terungkap karena orang tua siswa yang berani mengungkap dan protes. Bukan siswanya. Kasus pemaksaan berhijab ini menjadi bukti penguat bahwa dalam dunia penyelenggaraan pendidikan wabil khusus dalam organisasi Rohis harus ada perbaikan.

Baca Juga  Masjid Menyanan, Masjid Muslim Cina Tahun 1650

Terdapat beberapa pesan yang membuat AP tersinggung. Salah satu pesan itu menyebut bila orang tua Z mendukung anaknya melakukan sesuatu yang tidak benar atau melanggar syariat Islam karena membiarkan anaknya tidak berhijab. Saat AP meminta bertemu, oknum pengurus Rohis itu menolak. Dia meminta AP menemui guru PAI, bukan dirinya. “Nak mboten purun nggeh mpun, tinggal ditunggu nanti di akhirat mawon,” demikian bunyi pesan itu.

Dalam pesan lain, oknum pengurus Rohis itu mengingatkan Z supaya berhijab karena hal itu adalah kewajiban. “Kandanono, hijab bukanlah pilihan yang dengannya dia bisa memilih, tapi kuwi kewajiban. Siap ora siap, kudu berhijab.”

Dengan nada ancaman, oknum pengurus Rohis itu juga meminta Z tidak membawa masalah itu ke pimpinan sekolah. “INGAT, jangan sekali-kali bawa masalah ini ke sekolah dan sampai melapor ke kesiswaan karena ini masalah agama.”

AP menyesalkan oknum pengurus Rohis itu terlalu memaksakan kehendaknya untuk meminta anaknya berhijab. “Itu jelas ancaman. Apalagi kata “ingat” ditulis dengan huruf kapital. Masalah ini kan ada di sekolah, lalu mengapa tidak boleh di bawa ke sekolah,” ujarnya.

Atas fakta itu, program “Sekolah Damai” yang digerakkan WF sangat tepat untuk menyikapi persoalan-persoalan di atas. Program yang sudah berjalan sejak akhir 2017 ini mampu mewujudkan pionir-pionir baik dari kalangan guru maupun siswa aktivis rohis yang terus mengkampanyekan sekolah damai, sekolah tanpa diskriminasi.

Banyak perubahan baik dari para guru, siswa rohis, wakil kepala sekolah, dan bahkan kepala sekolah. Salah satunya cara pandang terhadap mereka yang berbeda agama dan keyakinan. Melalui lembaga yang didirikan Gus Dur ini, program sekolah damai mampu menyentuh dan mengetuk hati sehingga potensi-potensi intoleransi di sekolah sedikit terkikis.

Aktivitas-aktivitas sederhana yang dilakukan WF bersama-sama dengan AGPAI, MGMP, ELSA Semarang, mampu mewujudkan iklim toleran di lingkungan pendidikan. Kegiatan kunjungan rumah ibadah lintas agama yang dilakukan sisiwa rohis dan guru tampak sederhana namun mengena. Disitu banyak cerita-cerita dan dinamika menarik yang terjadi di lapangan.

Salah satunya pada kegiatan safari rumah ibadah lintas agama yang dilaksanakan Rohis SMA 13 Semarang. Raut wajah 35 siswa SMA itu tampak mengkerut saat tiba di halaman gereja. Turun dari bus mini, mereka yang datang bersama lima guru pendamping segera berkumpul di halaman Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Randusari, (Gereja Katedral) Semarang.

Pandangan mereka tak terarah. Sesekali melihat ke salah satu pojok di mana ada Patung Yesus. Kadang pula mereka melihat bagian dalam altar gereja yang amat luas. Mereka tampak masih mengobrol lirih antara mereka masing-masing.

Di tengah mereka bercakap-cakap, terdengar seruan dari seorang pengurus gereja untuk segera memasuki ruang aula. “Ayo anak-anak. Romo sudah menunggu,” ajak Guru Agama Islam, Hadi Siswanto menimpali ajakan pengurus gereja, kepada murid-murid lintas agama itu.

Para murid dan guru pendaming segera beranjak. Di depan aula, tampak Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Semarang Romo Yoseph Herman Singgih Sutoro menyambut. “Ayo salim dulu semua anak-anak. Salim-salim, ini Romo (Herman),” seru Hadi kepada anak didiknya.

Canggung Salaman
Satu persatu siswa SMA 13 Semarang itu bersalaman dengan Romo. Begitu giliran beberapa siswa yang beragama Islam, antrian salaman sempat terhenti. Antrian salaman menjadi tak aturan ketika tiga siswi Muslim itu ragu-ragu bersalaman dengan Romo Herman. “Kamu dulu. Ndak ah.. kamu dulu saja,” terdengar bisik-bisik, sembari saling dorong kecil antara mereka supaya bersalaman dengan Romo.

Guru pendamping yang melihat momen ini segera menyeru siswa untuk segera salaman dengan Romo. “Ayo salim, tidak apa-apa,” jelas Hadi dibantu dengan guru-guru lainnya. Mereka meyakinkan anak-anaknya bahwa salaman dengan Romo itu tidak membuat seseorang itu auto pindah agama.

Usai berdialog bersama, tampak para pelajar lebih memahami arti perbedaan dan tak canggung lagi bersalaman dengan pemuka agama lain. Bahkan, di tempat kunjungan terakhir, para pelajar sudah tak lagi canggung untuk komunikasi dan bertanya hal-hal yang mendasar tentang agama lain.

Ya, 35 pelajar dan guru pendamping SMA 13 Semarang berkunjung ke Gereja Katedral dalam rangka kegiatan wisata lintas agama. Wisata lintas agama ini digagas bersama Wahid Foundation bersama Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Kamis, 19 Desember 2019 lalu.

Para siswa lintas agama ini diajak berkunjung menyambangi beberapa tempat ibadah dari berbagai agama dan kepercayaan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Mereka mengunjungi tempat peribadatan seperti Gereja Katedral, Pura Agung Giri Natha, Sanggar Kepercayaan Sapta Darma, serta Vihara Buddhagaya Watugong.

Menumbuhkan Toleransi
Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Semarang Romo Yoseph Herman Singgih Sutoro mengapresiasi upaya Wahid Foundation dalam menjaga toleransi dan keberagaman beragama. “Saya mengapresiasi kegiatan positif ini, dan semoga bisa terus dilanjutkan untuk membangun persaudaraan antarumat beragama yang sudah terjalin baik,” ungkap Romo Yoseph. https://elsaonline.com/petilasan-ki-ageng-pandanaran-kerap-diziarahi/

Menurut Romo, perbedaan antarumat beragama itu merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Sebab Tuhan menciptakan segala sesuatu itu dengan keanekaragaman dan masing-masing mempunyai pribadi dan keunikan. “Oleh karena itu, kita perlu menghargai keanekaragaman, menghormati dan menjaganya sebagai keagungan dari Tuhan,” tutur Romo Herman.

Sampai pada titik itu, Wahid Foundationa (WF), hemat saya, sudah melakukan hal besar untuk bangsa. WF berjuang tanpa lelah untuk mewujudkan sekolah damai; sekolah yang tanpa diskriminasi dan intoleransi. Mengubah cara pandang yang mulanya sangsi hingga akhirnya promosi (sekolah damai) adalah capaian yang tak dapat dihitung dengan angka-angka.

Patut bernafas lega, para tim pelaksana program sekolah damai. Pintu gerbang yang semula samar-samar kian tampak jelas. Tak ada lagi perdebatan tentang parameter intoleransi di internal guru agama. Tak ada pula pertanyaan-pertanyaan sumbang tentang “sponsor” program sekolah damai yang pada awal-awal program selalu terlontar di belakang forum.

Hebatnya, penerimaan program sekolah damai ini bukan saja perindividu guru. Banyaknya kegiatan yang menunjang budaya damai di sekolah bukti bahwa program telah diterima secara institusi. Bahasa kerennya orang-orang program “ide mengembangkan budaya damai di sekolah sudah terlembagakan di sekolah.” [Ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini