Oleh: Tedi Kholiludin
The theology of liberation attempts to reflect on the experience and meaning of the faith based on the commitment to abolish injustice and to build a new society; this theology must be verified by the practice of that commitment, by active, effective participation in the struggle which the exploited social classes have undertaken against their oppressors. Liberation from every form of exploitation, the possibility of a more human and dignified life, the creation of a new humankind – all pass through this struggle.
(Gustavo Gutierrez)
Dalam “Principles of Christian Theology”, John Macquarrie menggambarkan teologi sebagai suatu studi yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman, berusaha untuk menyatakan inti iman itu dalam bahasa yang sejelas dan yang sesepadan mungkin. Pengertian Macquarrie tentang teologi ini meniscayakan dua hal, yakni partisipasi-refleksi serta refleksi.
Pengertian teologi seperti yang digambarkan Macquarrie, dikuatkan oleh Bevans bahwa teologi haruslah kontekstual. Berteologi semacam itu merupakan suatu hal yang baru sekaligus tradisional. Dikatakan baru karena ia mengembangkan teologi yang tidak dikenal sebelumnya. Meski demikian pengembangan yang baru ini juga tidak lepas konteks lama teologi (baca: tradisional) sebagai pijakan awalnya.
Kontekstualisasi dalam berteologi menjadi niscaya karena dua alasan, eksternal dan internal. Secara eksternal ada empat faktor yang mengharuskan teologi lebih bersifat kontekstual. (i) ketidakpuasan yang dialami dunia pertama dan ketiga terhadap model lama pendekatan klasik dalam teologi. (ii)pendekatan teologi lama bersifat opresif. Bagi teologi hitam misalnya, teologi tidak memberi tempat bagi mereka. (iii) sumbangan identitas lokal dalam mengembangkan teologi kontekstual. (iv) pemahaman yang semakin baik terhadap kebudayaan.
Sementara dalam lingkup internal, teologi kontekstual memiliki relevansinya karena ada tiga latar belakang. Pertama, hakikat inkarnasi dalam Kekristenan. Wahyu yang dimengerti oleh manusia hanyalah yang bersifat khusus. Makanya Allah berinkarnasi dalam diri Yesus sebagai manusia, agar ia bisa dipahami oleh manusia. Kedua, keadaan sacramental dari realitas. Inkarnasi Allah itu terjadi dalam sebuah realitas yang konkrit, bukan gagasan atau ide. Ketiga, pemahaman tentang pewahyuan Ilahi. Ada perubahan sikap dalam pemahaman ini dari yang bersifat kebenaran gagasan kepada kebenaran yang bersifat antar-pribadi.
Melihat latar belakang definisi tentang teologi di atas, maka teologi hanyalah menjadi teologi ketika ia menjadi praksis dari sebuah gagasan yang sesuai dengan konteks dimana ia berkembang. Teologi yang “tidak berbicara” hanyalah iman semata. Tidak memberikan kontribusi apapun bagi dinamika kehidupan masyarakat.
Teologi Pembebasan dan Deprivatisasi Agama
Setelah proses terjadinya Renaissance dan Aufklarung di Eropa, pergeseran peta kebudayaan semakin kuat terasa. Penemuan mesin industri diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada abad 19 orang mulai mengenal agama tidak hanya sebagai iman tetapi juga sebagai ilmu pengetahuan. Max Muller mulai menulis apa yang ia sebut sebagai ilmu agama atau ilmu perbandingan agama. Meski kata agama sudah dikenal sebelumnya, tetapi agama sebagai ilmu baru dikenalkan Muller pada 1867. Sejak saat itu, agama menjadi bahan kajian yang sangat menarik dengan memotretnya dari pelbagai aspek.
Perkembangan teologi sebagai pengetahuan, karenanya tidak bisa dilepaskan dari dinamika tersebut. Yang barangkali khas adalah kehadiran apa yang kemudian kita kenal sebagai teologi pembebasan. Teologi pembebasan merupakan sebuah komitmen gereja yang tidak hanya berkutat pada ranah privat saja. Teologi pembebasan, karenanya merupakan sebentuk deprivatisasi agama. Developmentalisme, kolonialisasi, kemiskinan, ketidakadilan menjadi latar belakang kehadiran teologi pembebasan tersebut.
Teologi pembebasan awalnya muncul di Benua Eropa pada sekitar abad dua puluh. Kemunculan wacana itu menjadi bahan perdebatan penting dalam studi agama. Studi itu dikaitkan dengan bagaimana peran agama dalam ruang publik. Peran yang dimaksud di sini adalah bagaimana membebaskan manusia dari ancaman globalisasi. Dengan Karakter yang secara kuat mewarnai diskursus teologi pembebasan di Eropa ada pada level pemikiran. Tawarannya adalah bagaimana membangun paradigma untuk memperbaiki sistem sosial manusia yang dirusak oleh pelbagai ideologi dan sistem yang muncul dari perbuatan manusia sendiri.
Selain di Eropa, teologi pembebasan juga berkembang di kawasan Amerika Latin yang dipelopori oleh Gereja Katolik. Karena berada dalam konteks negara dunia ketiga, maka bangungan teologi yang dikembangkan oleh teolog di Amerika Latin lebih bercorak pemikiran untuk membangun gerakan dalam rangka melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter.
Secara kategorial perbedaan antara dua corak teologi itu bisa dilihat dalam beberapa perbandingan di bawah ini.
No | Teologi Barat | Teologi Pembebasan |
1. | Hasil Budaya “kaya” Barat | Hasil budaya “miskin” Dunia Ketiga |
2. | Jawaban bagi persoalan non believer | Jawaban bagi persoalan orang yang diperlakukan bukan sebagai orang (non person) |
3. | Reaksi terhadap pencerahan budi, ilmu pengetahuan dan gerakan sejarah | Reaksi terhadap sistem masyarakat yang menindas |
4. | Mencari cara bicara tentang Tuhan dalam Dunia yang menjadi dewasa. Dunia yang menciptakan sikap ateistis | Mencari cara bicara tentang Tuhan dalam Dunia yang tak adil. Dunia yang menciptakan non-person |
5. | Pelaku teologi: intelektual borjuis kelas menengah | Pelaku teologi: rakyat tertindas dan miskin |
6. | Sekularisme adalah iklim umum, kecenderungan hidup tanpa peduli praktek keagamaan | Religiositas adalah iklim umum, entah itu memantapkan kum yang mapan atau mendorong perjuangan pembebasan. |
Dua bagan itu lahir dari situasi dan kondisi tertentu. Wajar jika kemundian hasilnyapun sangat terkait dengan kebutuhan. Disini, tidak ada yang lebih dan kurang. Semuanya sama-sama baik dan dibutuhkan. Persoalannya adalah sejauh mana teologi itu memiliki tingkat akseptabilitas. Konteks Amerika Latin yang merupakan negara dunia ketiga, saya kira memiliki paralelitas dengan konteks keindonesiaan. Karenanya, eksplorasi mengenai teologi pembebasan Amerika Latin lebih akan mendapatkan porsi dalam tulisan ini.
Karya otoritatif mengenai teologi pembebasan di Amerika Latin adalah A Theology of Liberation yang ditulis Gustavo Gutierrez. Gutierrez, Uskup di Peru ini menggambarkan teologi dalam tiga ranah. Pertama, teoogi sebagai wisdom atau kebijaksanaan. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga, teologi sebagai refleksi kritis terhadap praksis.
Gutierrez kemudian mendefinisikan teologi sebagai “critical reflection on praxis in the light of God’s word.” Ada tiga aspek yang terkandung dalam teologi pembebasan Amerika Latin. Pertama, Pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial dan politik atau alienasi kultural serta kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan dari kekerasan yang melembaga. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia.
Ketiga unsur tersebut adalah refleksi kritis atas iman; iman yang dihayati dalam konteks sejarah konkret Amerika Latin, iman yang dalam penghayatannya dibimbing oleh Wahyu Tuhan baik dalam bentuk verbal maupun tanda sejarah.
Berbagai teologi yang dapat dikategorikan sebagai teologi-teologi pembebasan seperti teologi politik, Teologi Hitam (Black Theology), Teologi Feminist, atau teologi-teologi dunia ketiga (Minjung dan Dalit misalnya), merupakan kritik baik sosial maupun ideologi/agamawi.
Kritik sosial, karenanya merupakan kritik atas tatanan sosial, ekonomi, politik yang bersifat dominatif dan tak adil. Tetapi juga merupakan kritik ideologi atau agamawi, karena ia tak hanya mengeritik tatanan sosial yang tak adil, tetapi lebih jauh mengeritik ideologi yang membenarkan tatanan sosial yang dominatif dan tak adil itu, apakah itu ideologi politis, ekonomi, ataupun teologi dari agama tertentu.
Tetapi apakah dasar dan kriteria untuk melakukan penghakiman/penilaian terhadap tatanan sosial dan ideologi yang mendukungnya? Hal ini akan membawa kita kepada unsur kedua yakni pengharapan utopis. Para teolog kontemporer khususnya yang berorientasi pada transformasi sosial, sekali lagi dinspirasikan oleh konsep praksis mencoba menempatkannya di pusat usaha berteologi mereka.
Islam dan Teologi Pembebasan
Sependek pembacaan saya terhadap karya-karya intelektual muslim yang membahas karya-karya beraroma teologi pembebasan, ada dua buku yang coba menawarkan wacana itu secara utuh. Pertama, Asghor Ali Engineer, intelektual muslim India dalam bukunya, Islam and Liberation Theology. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan masih menjadi karya otoritatif dalam bahasan mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Tema-tema yang didedah dalam buku tersebut kebanyakan adalah konsep-konsep universal seperti halnya keadilan dan kesetaraan gender. Kalau boleh diklasifikasikan, Asghor banyak bertutur tentang aspek pembebasan yang bersifat sosial.
Kedua, Hamid Dabashi penulis asal Iran yang menggelontorkan buku Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire. Dari judulnya, sudah terlihat kalau buku ini hendak mencari argumentasi teologis ihwal pembebasan dari sudut politik atau kekuasaan. Dalam satu bab yang berjudul The End of Islamic Ideology, Dabashi secara tegas mengatakan ”The Islamic Ideology exhausted, Shi’ism, as Islam’s insurrectionary dream of itself, will recede back into the latent layers of Muslim collective memory, awaiting yet another charismatic occasion to reclaim itself, to come back and lead yet another revolt that will be defeated at the moment of its success: Sisyphus paramount”. Sebagai ideologi, seraya mengkritik Syiah yang menjadi paham dominan di Iran, Islamime sudah berakhir, kata Dabashi.
Meski begitu paparan yang sistematis mengenai gagasan Teologi Pembebasan baik dari sejarah, metode maupun substansinya luput dari pembahasan keduanya. Baik Asghar maupun Dabashi hanya sedikit mengaitkan teologi pembebasan dengan bapak moyangnya, baik di Eropa maupun Amerika Latin. Karenanya, sebelum mengaitkan hal itu dalam tradisi Islam, maka kemunculan wacana teologi pembebasan perlu dilihat locus theologicusnya.
Paparan di atas, merupakan sandaran sederhana sekaligus spirit yang mendasari bagaimana gerak laju teologi pembebasan di Amerika Latin. Yang perlu ditagih dari Islam, jika kita akan menjadikannya sebagai locus theologicus, adalah bagaimana manifestasi dan dalam ruang apa Islam menunjukan tanggungjawab sosialnya.
Bagi  umat Islam Indonesia, ada dua hal yang setidaknya perlu dianyam dengan teologi pembebasan, yakni konteks keberislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain, bagaimana kita membangun sebuah teologi pembebasan Islam Indonesia (Indonesian Islamic Liberation Theology). Saya tidak akan menuntaskan cara dan metode dalam melakukan rancang bangun teologi ini.
Yang saya tekankan, adalah reasoning kenapa kita harus berteologi yang mandiri, khas Indonesia. Meskipun sama-sama muslim, problematika yang dialami umat Indonesia tidak sama dengan umat Islam di Saudi Arabia, Iran atau Palestina. Itulah alasan yang kuat mengapa umat Islam Indonesia mesti membangun cara berpikir tentang pembebasan yang diderivasi dari konteks keindonesiaan.
Menurut saya, cara yang paling tepat untuk membangun teologi pembebasan Islam yang khas Indonesia haruslah diawali dengan melihat kebutuhan dasar dari umat Islam Indonesia. Perlu digarisbawahi konteks bangsa Indonesia yang plural, mengharuskan umat Islam merevisi doktrin-doktrin keislaman yang tidak ramah terhadap orang lain. Jika umat Islam Indonesia berislam seperti halnya orang Islam Palestina, maka yang dilakukan adalah selalu mencari musuh, Yahudi dan Kristen. Ini bukan teologi pembebasan.
Karenanya, dalam amatan saya, selain mengembangkan teologi-teologi pembebasan (liberation theologies) kita juga sudah saatnya melakukan pembebasan teologi-teologi (liberating theologies) terlebih dahulu. Cara itu dibutuhkan agar teologi itu tidak meninabobokan penganutnya. Teologi tidak menjadi cara untuk membelenggu kesadaran palsu umat beragama.
BAHAN BACAAN
Bevans. B. Stephen, Models of Contextual Theology. Faith and Cultures Series, (Maryknoll-New York: Orbis Books, 1996)
Dabashi, Hamid, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire, (USA: Routledge, 2008)
Gutierrez, Gustavo, A Theology of Liberation, (Maryknoll: Orbis Book, 1991)
Macquarrie, John, Principles of Christian Theology, (London: SCM Press, 1966)
Nuhamara, Daniel, “Kritik, Utopia Dan Praksis Pembebasan: Unsur-Unsur Dalam Berteologi Sosial Transformatif”, Jurnal Kritis, (UKSW: PPs.SP. 2004).
Titaley, John A., Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual, Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsionil Akademik Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana, (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2001)
Wahono, Nitiprawiro Fr., Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000.