Dekolonisasi Studi Agama

Oleh: Tedi Kholiludin

Beberapa bulan lalu, saya sempatkan membaca bagian-bagian penting dari bukunya Abdullahi Ahmed An-Naim, “Decolonizing Human Rights.” Buku ini dengan tegas menunjukan posisi An-Na’im sebagai intelektual yang menghendaki cara pandang baru di segala aspek. Dalam buku “Toward an Islamic Reformation,” intelektual asal Sudan itu mengajak kita untuk mereformulasi hukum Islam, agar selaras dengan kebebasan sipil, hak asasi manusia dan hukum internasional. “Decolonizing Human Rights,” merupakan ajakan An-Na’im untuk membaca kembali wacana hak asasi manusia secara kritis.

Kata An-Na’im, dalam bagian awal karya yang terbit tahun 2021, dengan dekolonisasi ia tidak bermaksud untuk menolak seluruh sistem Eropa secara keseluruhan. An-Na’im menyadari bahwa realitas hubungan internasional di segala aspek tidak mungkin mengabaikan negara. Masalahnya, bagaimana negara didekati untuk merealisasikan perlindungan hak asasi manusia yang berada di bawah yurisdiksi negara itu.

Guru Besar di Emory University itu mengajukan kritik fundamentalnya yang menunjukan paradoks negara. Kritik ia atas “pendekatan yang berpusat pada negara dalam melindungi hak asasi manusia ini didasarkan pada paradoks yang jelas bahwa mengharapkan negara melindungi hak asasi manusia dari organ dan pejabat negara yang sama adalah kontradiktif.” Menurut hukum internasional, hanya negara yang memiliki kewajiban HAM dan melaksanakan kewajiban tersebut.

Tawaran yang diajukannya menarik, meski sejatinya tidak merupakan gagasan yang baru sama sekali. Yang hendak dicapai An-Na’im adalah “pelaksanaan hak asasi manusia dengan cara yang biasanya diterapkan oleh semua komunitas manusia sepanjang sejarah, yaitu mempromosikan legitimasi budaya dari nilai-nilai alternatif dan mobilisasi politik untuk pelaksanaannya.” Tentang hal ini, ia menawarkan apa yang disebutnya sebagai “indigenous socialization strategies” melalui dua cara; transformasi budaya dan mobilisasi politik.

Baca Juga  Perdamaian: Sebuah Renungan Natal

Dengan bekal kritisisme An-Naim atas HAM, saya berpikir cepat untuk segera menautkannya dengan studi agama. Pantikan pokoknya, seperti halnya yang dilakukan An-Na’im, studi agama pun perlu didekati dari sudut pandang dekolonisasi. Butuh sebentuk “decolonizing the study of religion” alias dekolonisasi studi agama.

Asumsi dasarnya, studi agama, bahkan sejak agama itu didefinisikan, sejak saat itu juga muncul bias Eropa. Ketika memberikan ceramah tentang buku tulisannya, “Returning to Religion,” Jonathan Benthall mengakui bahwa studi agama di Barat dikonstruksi di atas fondasi atau baseline Kekristenan dan Budaya Eropa tentu saja. Walhasil, tak mengherankan jika ada cara pandang kebudayaan yang timpang dimana premis tentang agama dibangun di atas paradigma demikian.

Diskursus seperti yang baru saja saya pikirkan rupanya telah menjadi bahan diskusi di kampus-kampus Barat lumayan panjang, setidaknya sejak tahun 2010-an atau mungkin telah berlangsung sebelumnya, jadi saya agak terlambat masuk untuk menyimaknya. Yang menggumulinya tak lagi intelektual dari belahan dunia ketiga, tapi justru orang Barat sendiri. Malory Nye, dari University of Glasgow mengatakan, bidang studi agama kontemporer, sebagaimana kajian humaniora lainnya adalah produk sejarah kolonial Eropa. Penulis buku “Religion: The Basics” itu menunjukan bahwa sejarah ilmu pengetahuan, termasuk studi agama didalamnya, tertanam kuat pada apa yang disebut oleh Anibal Quijano (sebagaimana dikutip Nye) sebagai “colonial matrix of power.”

Kajian lawas Edward Taylor hingga Ninian Smart terasa sekali nuansa kolonialismenya. Karya Daniel L. Pals yang digunakan sebagai perangkum teori-teori agama juga tak berhasil menunjukan bias kolonialisme tersebut. Tidak ada pertanyaan kritis tentang bagaimana kolonialisasi berkontribusi dalam membentuk pikiran mereka (pengkaji agama tersebut). Bahkan, sembilan orang yang dibahas oleh Pals seluruhnya laki-laki dan kulit putih (Nye, 2019). Pals seperti larut dalam bias yang sangat benderang itu.

Baca Juga  Muspika Undaan Kudus Dukung Kegiatan Lintas Agama
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini