Demi NKRI, Marga Tionghoa Bersatu

Dari kiri: Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D, Rohaniwan Katolik Romo Aloys Budi Purnomo, Ketua PSMTI Jawa Tengah Dewi Susilo Budiharjo, dalam acara diskusi di Aula Setos Jl Petempen 294 Gajahmada Semarang, Senin (22/02/16). [Foto: KA]
Dari kiri: Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D, Rohaniwan Katolik Romo Aloys Budi Purnomo, Ketua PSMTI Jawa Tengah Dewi Susilo Budiharjo, dalam acara diskusi di Aula Setos Jl Petempen 294 Gajahmada Semarang, Senin (22/02/16). [Foto: KA]
[Semarang, elsaonline.com]- Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jawa Tengah menggelar acara diskusi dengan tema ‘Cinta Menembus Batas, Melayani Tanpa Pamrih, Harmoni dalam Perbedaan’ di Aula lantai 15 Semarang Town Square (Setos) Jl Petempen 294 Gajahmada Semarang, Senin (22/02/16).

Ketua PSMTI Jawa Tengah, Dewi Susilo Budiharjo, menjelaskan diskusi ini sengaja mengusung tema pluralisme karena masyarakat Indonesia multikultural. “Tujuannya agar semuanya tahu bahwa kami (warga keturunan Tionghoa, red) tahu bahwa kami asli Indonesia,” katanya.

Selain itu, kata Dewi, acara ini juga bertujuan untuk mempersatukan marga-marga Tionghoa yang ada di Indonesia supaya dapat bersama-sama berkiprah membangun negeri ini. “Marganya banyak, dan berbeda-beda, banyak sekali. Nah PSMTI lahir karena ingin menyatukan semua marga Tionghoa ini. Kita ingin berkiprah di NKRI dengan sosial,” sambungnya.

Karena itu, Dewi menambahkan, dalam acara diskusi ini juga ada acara pemberian bantuan kepada anak yatim piatu yang didatangkan dari 5 yayasan yatim piatu di Kota Semarang. “Kita kan punya judul cinta menembus batas, maka saya akan mengawali semua ini dengan bersosialisasi dengan adik-adik anak yatim semuanya,” jelas Dewi.

Silaturrahim

Dalam acara yang dihadiri para tokoh lintas agama ini, rohaniwan Katolik Romo Aloys Budi Purnomo menjelaskan, bahwa penerapan cinta menembus batas yang paling tepat yaitu melalui silaturrahim, baik dengan antar pemeluk agama maupun antar etnis.

“Saya belajar mencintai menembus batas dengan cara mengenal dan silaturrahim kepada guru-guru saya seperti ke Habib Lutfi, Gus Mus, KH Mahfudz Ridwan Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro Salatiga. Ke masjid Agung Jawa Tengah, dan yang lainnya,” paparnya.

Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang itu menuturkan, bahwa silaturrahim dengan tokoh atau pemeluk agama lain bukan pekerjaan ringan yang tanpa resiko. Tapi kegiatan seperti ini harus siap dibenci banyak orang, terutama dari yang seagama.

Baca Juga  Kondusifitas Kota Semarang Jangan Sampai Meninabobokan

“Foto saya bersama Gus Mus yang pernah jadi ramai netizen, banyak yang suka, tapi juga banyak yang mencerca. Ada yang bilang, ini romo masih Katolik gak. Ya begitulah, cinta menembus batas bisa mendatangkan resiko,” tuturnya sembari menunjukkan foto yang bergambar dirinya sedang mencium tangan KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.

Hadir sebagai pembicara lain dalam diskusi ini, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D, budayawan Prie GS, Ketua PSMTI Jawa Tengah Dewi Susilo Budiharjo, dan tokoh masyarakat Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini