Oleh: Tedi Kholiludin
Saya diminta teman-teman dari SPEKHAM, sebuah lembaga yang cukup tua di Solo untuk berbagi cerita tentang bagaimana mengelola keragaman. Senang sekali bisa bersua dengan teman-teman, dan mendapatkan kesempatan untuk bersilaturahmi. Sejatinya tidak hanya saya yang berbagi, tetapi pada saat yang sama saya pun mendapatkan cerita dari teman-teman yang hadir.
Ketika dibuka sesi pertanyaan, karena tidak banyak waktu yang tersedia, tiga orang diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik. Dua orang yang saya catat memberikan tambahan cakrawala. Pertama, seorang yang cukup saya kenal, aktivis radio komunitas. Ia bercerita bahwa sikap berbeda atau dalam konteks gerakan Islamis itu ada sejak lama. Kartosuwirjo salah satunya. Tapi, kata sang aktivis itu menambahkan, negara membunuhnya. Tapi di sisi lain, ada masyarakat di dua kampung yang berbeda keyakinan. Satu kampung mayoritas beragama Islam, kampung lain beragama Hindu. Disitu “tidak ada” negara. Dan ketika negara tidak ada (baca: hadir) kerukunan itu tercipta. Apakah ini berarti negara gagal mengelola keragaman? Begitu kira-kira pertanyaan aktivis senior tersebut.
Berikutnya seorang ibu mengajukan pertanyaan. Ia adalah seorang aparatur sipil negara sekaligus jemaat sebuah gereja. Ia bertanya sekaligus bercerita tentang rumah ibadahnya yang menghadapi permasalahan. Saat moderator memberikan kesempatan, saya kemudian meminta untuk menjawab langsung setelah kegiatan usai.
Diskusi pun selesai. Sang ibu menghampiri saya. Ia melanjutkan cerita tentang gereja yang ditutup. Sejak tahun 1990 mereka mendirikannya. Diatas tanah sendiri dan dengan uang sendiri tentunya. Awalnya masyarakat menerima dan memaklumi. Apalagi gereja yang mulai dibangun tersebut letaknya agak jauh dari keramaian. Tepatnya, di dekat tempat pemakaman umum setempat.
Tapi, cerita kemudian berubah seiring datangnya “orang luar”. Ia datang dan mengajak warga untuk menolak kehadiran gereja. Warga mengamininya. Walhasil, hingga hari ini, gereja urung berdiri. Panitia pembangunan berulangkali gagal mendapatkan persetujuan warga setempat. Ketika ditanyakan tentang kenapa menolak, warga berdalih bahwa tidak jauh dari tempat tersebut sudah ada gereja. Namun, kala dijelaskan bahwa gereja yang sudah ada berbeda denominasi dengan gereja yang hendak dicarikan izinnya, jawaban menjadi agak sulit dicerna. Intinya, gereja tidak boleh berdiri.
***
Cerita diatas merupakan kali kesekian yang saya dengar langsung. Mengurai masalah di lapangan tidaklah semudah membaca dan memahami regulasinya. Masalah mereka lebih kompleks dan bukan hanya soal mau atau tidak memberi izin. Alasan yang bersifat prinsipil memang sering muncul, tapi latar belakang yang tidak bertaut sama sekali dengan masalah doktrin juga ada. Kesenjangan di level sosial dan ekonomi tak jarang menyumbangkan peran dalam kompleksitas problem yang hadir. Karena baru sebatas mendengar cerita sekilas, saya belum bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya menjadi akar masalah dan mana yang jadi pemantiknya.
Kelompok-kelompok minoritas (dalam pengertian kuantitas) memang sering berada di persimpangan jalan. Sebagai bagian dari masyarakat luas, mereka tentu saja dituntut untuk bergaul dan membuka diri. Sikap eksklusif harus dihindari. Kekakuan dan ketidakmauan untuk bersua dengan yang lain, semakin menumbuhkan syak wasangka. Kondisi yang kurang menyehatkan bagi iklim persaudaraan yang hakiki.
Hanya saja, persoalan tidak kemudian rampung dihadapi tatkala upaya membuka diri itu diterapkan. Saat melakukan karya-karya kemanusiaan misalnya, tuduhan sebagai praktik Kristenisasi atau Katolikisasi kerap diterimanya. Mereka pun dilematis. Diam (dianggap) salah, bergerak dicurigai.
Mengenali siapa yang ada di sekitar mereka, mau tidak mau menjadi sebuah keharusan. Saya sering mengatakan bahwa sebuah kelompok itu tidaklah monolitik. Selalu ada faksi-faksi didalamnya. Persepsi mereka terhadap yang lain tidaklah sama, meski mungkin dengan latar belakang agama yang sama. Memahami anatomi seperti ini sangatlah penting untuk meniti langkah. Bagaimana bersosialisasi dengan mereka yang terbuka dan cara apa yang ditempuh kala bersua dengan kelompok masyarakat yang sedang dalam proses memahami kemajemukan.
Barangkali agak “beruntung” jika hidup dalam masyarakat yang sedikit individualis atau pragmatis. Biasanya, masyarakat seperti ini tak terlalu memperhatikan keragaman latar belakang etnis atau agama. Asal tidak merugikan pihak lain, maka perbedaan-perbedaan seperti itu bisa dengan mudah dimaklumi.
Namun, kelompok-kelompok masyarakat seperti ini tetap menyimpan kerawanan. Karena warna dasar dari pergaulan mereka bersifat pragmatis, maka fondasi pengelolaan keragaman disandarkan pada pola untung-rugi, bukan sebuah perayaan akan kebhinekaan. Jika yang pertama sangat artifisial, dasar yang kedua lebih menginternalisasi. Dan jika kohesi sosial itu menjangkar kokoh, maka ia lebih tahan lama.