Dua Model Toleransi

Oleh: Tedi Kholiludin

Apakah seseorang bisa hidup rukun dengan tetangga, yang menurut pandangan keagamaannya, kafir dan akan masuk neraka?

Inspirasi pertanyaan diatas bersumber dari buku klasiknya JJ Rousseau, Social Contract. Baginya, intoleransi dalam bidang politik atau kehidupan sosial dan agama tidak bisa dipisahkan. “Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya, sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan”, kata Rousseau.

Sikap eksklusif seperti ini tentu memiliki dampak sosial. Rousseau seperti hendak mengatakan bahwa kita sulit untuk hidup berdamai dengan mereka yang secara teologis, tidak akan diselamatkan. Kita masuk sorga sementara mereka akan masuk neraka.

Terhadap tantangan Rousseau di atas, umumnya ada dua jawaban tentang toleransi yang disodorkan. Pertama, jawaban yang memisahkan antara persoalan sosial dan keagamaan. Asumsi utamanya, meski berbeda keyakinan, tetapi kita harus hidup rukun dengan mereka yang berbeda agama. Pemisahan antara yang sakral dengan yang profan tercermin dalam pandangan ini.

Pandangan teologis kelompok ini, pada dasarnya eksklusif. Mereka tetap mengakui doktrin keluhuran, keunggulan, keterpilihan, kesempurnaan dan kesucian agamanya. Doktrin eksklusif sesungguhnya ada dalam setiap agama. Inilah identitas yang menjadi pembeda dengan agama-agama lainnya.

Meski memiliki sikap eksklusif secara teologis, tetapi kelompok ini tetap melihat kerukunan atau harmoni sosial sebagai sikap ideal. Ini yang dalam perspektif Paul F. Knitter tentang teologi agama-agama disebut inklusif. Meski eksklusif secara teologis, tetapi tetap membangun relasi sosial sebagai sebuah kenyataan hidup. Mudahnya, sebut saja model ini sebagai “toleransi luar.”

Kedua, ini yang mungkin dikehendaki oleh Rousseau, yakni sikap toleransi yang meyakini bahwa semua manusia adalah setara, teologis maupun sosiologis. Ajaran agama yang eksklusif harus direinterpretasi. Pembedaan secara teologis, yang berpotensi segregatif harus ditiadakan. Meski bentuk, ritual, tata cara ibadah, dan jilidnya berbeda, tetapi ada titik persamaan di semua agama.

Baca Juga  Perempuan di Lembaga Pembuat Keputusan

Perlunya penafsiran ulang terhadap dogma eksklusif dibutuhkan agar pembedaan kategorial antara mereka “yang masuk sorga-neraka,” “beriman-kafir,” “diberkati-dikutuk,” tidak muncul lagi. Mengapa itu perlu dilakukan? Karena kata Rousseau, keterbukaan kita secara sosial akan lebih dalam maknanya jika dibarengi atau bahkan dikuatkan dengan keterbukaan secara doktrinal. Penerimaan, akhirnya tak hanya tampak di luar, tetapi juga hadir di dalam keyakinan. Inilah “toleransi luar-dalam.”

Hemat saya, ideal kehidupan beragama memang yang kedua, “toleransi luar-dalam.” Perbedaan agama dan keyakinan tidak kemudian menghalangi untuk melakukan interaksi sosial. Tak hanya itu. perbedaan itu juga tak lantas membuat manusia mengkapling sorga. Kesetaraan umat beriman juga bukan sesuatu yang imajiner. Jika sikap seperti ini yang dibangun, maka tidak ada lagi perdebatan tentang apakah seorang yang berbeda keyakinan dengan saya boleh atau tidak menjadi pemimpin.

Bagaimanapun, sikap beragama dalam model yang pertama rentan memunculkan residu. Misalnya, bagi seorang muslim, apakah politik itu hal yang bersifat duniawi atau juga terkandung dimensi sakral di dalamnya. Jawaban bahwa politik adalah urusan duniawi, tidak kemudian serta merta mengubah posisi teologis seseorang terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Meski imbas dari jawaban tersebut adalah tersedianya kesempatan bagi semua pemeluk keyakinan menjadi pemimpin politik.

Menjadi pelik, jika ada yang berpandangan bahwa politik juga mengandung nilai agama. Karena ada unsur teologi di dalamnya, maka hanya mereka yang sama keyakinannya, yang bisa menjadi pemimpin. Sikap toleransi sosial seperti ini, sesuatu yang semu tentu saja. berupaya untuk membangun keterbukaan secara sosial, namun tetap membangun benteng agama sebagai pertahanannya.

Karenanya, mengamini Rousseau, toleransi haruslah lahir “dari dalam” yang kemudian termanifestasikan dalam sikapnya “di luar.” Toleransi tidak bisa hanya semata-mata sebagai sikap sosial. Terhadap mereka yang memiliki keyakinan keagamaan yang berbeda, juga harus ada penerimaan secara teologis. Bahwa semua makhluk adalah ciptaanNya dengan derajat yang sama.

Baca Juga  Lewat Paralegal, Anak Penghayat Ini Ingin Jadi Ahli Hukum
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini