ELSA itu Laboratorium Pemikiran Ilmiah

[Semarang -elsaonline.com] Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang yang sekarang menjadi Yayasan Pemberdayaan Komunitas ELSA adalah semacam kamar kecil yang lebih sempit atau laboratorium untuk menuangkan pemikiran-pemikiran akademik. Pembuatan kamar yang lebih sempit semacam ini juga dilakukan para ulama zaman dahulu, misalnya adalah Imam Al Junaid. Ketika bicara di hadapan publik, bicaranya datar-datar saja, namun ketika bicara di tempat khusus sangat berbeda dan banyak sekali pemikiran-pemikiran ilmiah akademiknya yang dituangkan.

Cerita di atas disampaikan Ketua Dewan Pembina Yayasan ELSA, KH. Abu Hapsin, Ph.D. saat acara pembukaan pertemuan koordinasi YPK ELSA dengan lembaga yang menjadi mitra penanggulangan HIV/AIDS yang digelar di Hotel Louis Kienne, Jalan Pemuda 45-51 Semarang, Rabu (29/9/2021).

Lebih lanjut, diceritakan Abu Hapsin, di Semarang belum ada organisasi yang lahir dari anak-anak muda yang penuh dengan pemikiran akademik yang se-ideologi. Berbeda dengan kota lain seperti Yogyakarta misalnya.

“Dengan berkaca pada lembaga-lembaga lain inilah saya berniat membuat lembaga atau organisasi yang seideologi dengan institusi yang lahir dari komunitas anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Maka lahirnya ELSA itu ideologinya mirip-mirip dengan LKIS,” tuturnya pada para peserta.

Ditambahkannya lagi, ELSA itu menjadi kawah candradimuka pemikiran akademik. Lama-lama lembaga ini melebarkan sayap dengan bergerak di bidang advokasi, penerbitan dan lainnya yang bisa menjadi wadah eksistensi dan juga tempat teman-teman bekerja.

“Lahirnya Elsa ini jelas tuntutan akademik. Karena eksistensi atau keberadaannya yang sangat eksplisit. Dari sini kita merasa semakin dibutuhkan meski awalnya banyak yang tidak setuju,” tandasnya.

Perlu diketahui bahwa lahirnya ELSA tidak berjalan mulus begitu saja. Ada penolakan akan lahirnya ELSA, karana dianggap sebagai penyebar paham liberalisme agama. Padahal komitmen kita adalah kemanusiaan, karena inti dari agama itu adalah humanisme. “Apalagi kalau bukan kemanusiaan,” tegasnya. “Agama kalau kita gali lagi ya ketemunya adalah kemanusiaan. Teologi, hukum, sufisme, mistisme, itu inginnya ya memanusiakan manusia,”jelas Abu Hapsin.

Baca Juga  Tempat Sujudan Sapta Darma, Terbuka Untuk Semua Agama

Lalu seperti apa Elsa bisa berkembang dalam isu kesehatan seperti sekarang ini?

Menurut Abu Hapsin, yang juga ketua Tanfidziyah PWNU (Pengurus Wilayah NU) Jawa Tengah periode 2013-2018, menjelaskan bahwa persoalan kemanusiaan itulah menjadi latar belakang akademik, karena kesehatan itu sangat erat kaitannya dengan agama dan tentunya perlu ditingkatkan.

“Yang menjadi fokus ELSA adalah aspek kemanusiaan secara langsung. Karena apa yang didapat oleh teman-teman di bangku perkuliahan itu lebih akrab pada sisi kemanusiaan,” tuturnya. Kalau kemudian teman-teman belajar mengelola program kesehatan, itu didapat dari pengalaman dalam hidup yang selama ini dirasakan atau dijalani.

Abu berharap kegiatan-kegiatan Elsa nanti terus bertambah, tidak hanya pada kesehatan saja.(Abdus Salam)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini