Pasal ke lima Pancasila berbunyi “Keadilan Sosial Bagi seluruh Warga Negara Indonesia”. Weltancheuung tersebut sesungguhnya merupakan norma dasar yang menegaskan bahwa seluruh warga Negara mempunyai hak yang sama. Ketika terjadi diskriminasi, maka Negara bertanggungjawab atas hal tersebut. Yaitu atas tindakan pelanggaran pada norma dasar, konstitusi maupun Hak Asasi Manusia.
Ditengah semaraknya demokrasi, alih-alih keadilah semakin ditegakan, sebagian warga Negara justru belum menikmati hal tersebut. Sebut saja penghayat kepercayaan, sebagai penduduk asli Indonesia yang bersama-sama memperjuangkan tanah air, mereka tidak mendapatkan pelayanan yang sama dari Negara. Sebaliknya berbagai tindakan diskriminasi, sampai saat ini masih mereka terima.
Tidak hanya karena dianggap minoritas, permasalahan diskriminasi terhadap penghayat tidak dapat dilepaskan dari masalah keyakinan. Meski telah diakui dan dilindungi oleh UUD 1945, toh pada kenyataanya mereka masih dibeda-bedakan. Sehingga akhirnya tidak jarang mereka berpura-pura beragama hanya agar mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara. Sebagai contoh dalam pembuatan KTP maupun akta.
Atas dasar di atas, maka pembahasan pada penerbitan kali ini difokuskan kepada diskriminasi pelayanan publik bagi penghayat. Sebagai pembuka, tulisan akan menelisik tentang fenoma diskriminasi layanan publik yang dirasakan para penghayat. Selanjutnya, pembahasan tentang diskriminasi pada prosedural pemakaman bagi penghayat. Diteruskan dengan tulisan tentang peran ormas dalam menyikapi tindakan diskriminasi. Akhirnya tulisan dipungkas dengan tema bahasan instrument HAM Internasioanal dan hak yang perlu diperjuangkan oleh para penghayat.
Kami sampaikan selamat membaca. Download disini