[Semarang –elsaonline.com] Eskalasi konflik di Indonesia diprediksi masih akan terus meningkat. Prakiraan ini menilik catatan panjang ketidakhadiran negara dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Kendati demikian, kiranya diperlukan kepala daerah yang komunikatif dan peka terhadap masalah daerahnya.
Berdasarkan kasus yang terjadi, konflik kerap terjadi akibat pembangunan yang timpang serta akar kebodohan. Masalah yang sarat konflik juga diakibatkan tingginya angka kemiskinan, keterbelakangan pembangunan juga langsung maupun tak langsung dalam komunitas-komunitas agama dan etnis.
“Untuk itu, perlu mengembalikan peranan, tugas dan kewajiban kepala daerah sebagai pelayan masyarakat bukan pelayan partai. Di mana kepala daerah berkewajiban menjaga dan memelihara kerukunan warganya,” tutur rohaniawan Benny Susetyo.
Dia menyampaikan itu dalam workshop dan Focus Group Discussion (FGD) “Menggagas Pembelajaran dan Kurikulum di Fakultas Hukum untuk Penanganan Konflik Sosial melalui Pendidikan dan Dialog Inter-Kultural” di Fakultas Hukum dan Komunikasi, Unika Soegijapranata, Semarang, Kamis (24/4).
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 104 konflik sosial terjadi selama Januari hingga November 2012. Dari 104 peristiwa konflik sosial tersebut, bentrokan antarwarga merupakan pemicu konflik sosial yang paling besar hingga mencapai 33,6 persen.
Setelah itu, disusul isu keamanan sebanyak 26 kali peristiwa atau mencapai 25 persen. “Untuk pemicu lainnya yaitu sengketa lahan dan konflik organisasi kemasyarakatan masing-masing sebanyak 13 peristiwa atau 12,5 persen sedangkan isu SARA hanya 10 peristiwa atau 9,6 persen menjadi pemicu konflik,” imbuhnya.
Pembiaran
Selain itu, dalam isu kesenjangan sosial hanya satu peristiwa, konflik pada institusi pendidikan dan ekses konflik politik masing-masing tiga peristiwa. Benny menyebut bahwa potensi konflik di masa datang di Poso dan Ambon adalah persoalan tanah pasca konflik yang tidak terselesaikan.
“Namun umumnya negara melakukan pembiaran. Aparat tidak bergerak mencegah terjadinya konflik. Konflik merupakan potensi pendapatan,” terangnya di sela-sela mengisi FGD.
Tak jauh berbeda, sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mencatat tiga langkah bila ingin mengupayakan solusi atas konflik komunal yang terus mendominasi kekerasan di Indonesia. Baik itu pada masa lalu maupun masa yang akan datang. Tamrin menjelaskan, untuk jangka pendek, keamanan harus ditegakkan dengan pertama-tama menangkap dan mengeluarkan para provokator dari wilayah konflik.
“Dalam jangka-menengah, sumbu sentimen agama dan suku yang selama ini disulut perlu didinginkan dengan cara ajakan –melalui berbagai media dan kesempatan– untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai fundamental yang paling mulia mengatasi semua nilai yang lain,” bebernya.
Sementara dalam jangka-panjang, lanjutnya, perlu diupayakan agar konteks-konteks yang mengfasilitasi perlu dirubah lewat kebijakan publik yang berpegang-teguh pada penegakan keadilan dalam semua bidang.
“Dalam hal ini berbagai kebijakan publik yang diarahkan untuk mengubah tatanan kontekstual di masyarakat, dimana bisa memfasilitasi konflik komunal juga perlu dirumuskan,” tandasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]