Oleh: Tedi Kholiludin
Tulisan ini merupakan elaborasi dari pertanyaan sederhana; apakah meningginya semangat keberislaman di level keseharian selalu berkaitan dengan langkah mewujudkan mimpi negara Islam?
Istilah keberislaman pada level keseharian barangkali perlu mendapatkan penjelasan. Dengan segala perdebatan yang melingkupinya, saya menggunakan istilah islamisme dalam tulisan ini untuk merujuk pada segala bentuk gerakan, sikap dan aktivitas yang didalamnya mengandung unsur perjuangan penerapan ajaran Islam baik pada level struktur maupun kultur.
Saya menyadari bahwa istilah Islamisme masih diperdebatkan (Martin dan Barzegar; 2010). Sebagian menggunakannya sebagai istilah yang dekat dengan kekerasan, ekstremisme, Islamofobia dan lainnya. Pengertian lain menjelaskan istilah ini sebagai ideologi yang diperjuangkan untuk menembus jalur-jalur politik.
Islamisme dalam tulisan ini didudukkan dalam “kerangka yang lebih netral” dengan “jangkauan yang lebih luas.”
Kerangka netral berarti ada perjuangan yang dilakukan dengan berbagai cara untuk memperjuangan agendanya. Cara itu bisa berbentuk gerakan politik parlementer, gerakan ekstra parlementer, serta upaya lainnya. Memang, sebagian dari mereka menggunakan bentuk destruktif, represif dan sejenisnya. Strategi ini yang menyebabkan mengapa kemudian islamisme menjadi istilah yang agak pejoratif. Sementara, di lain pihak, tak sedikit dari mereka yang menggunakan cara-cara yang lebih kooperatif.
Jangkauan yang lebih luas artinya gerakan ini tak hanya dipahami dalam kerangka politik saja, tetapi juga pada domain sosio-kultur. Yang menggerakan gerakan ini adalah mereka di level masyarakat yang dilakukan baik oleh kelompok yang terkonsolidasi maupun maupun tidak. Aspirasi keislamannya tercermin dalam berbagai bentuk seperti budaya pop, busana, ekonomi, pariwisata halal, perumahan syariat dan lainnya. Islamisme di level keseharian ini yang saya sebut sebagai everyday Islamism.
Kembali pada pertanyaan di awal, apakah penciptaan kehidupan sosial-budaya yang Islami bisa disebut sebagai langkah awal membangun landasan pacu negara Islam? Jawabannya tentu sangat tergantung pada karakter kehidupan islami di level sosial-budaya tersebut. Peta sederhananya, ada tiga relasi dari dua variabel (islamisme sosial-budaya dan tujuan politik) itu.
Pertama, kehidupan sosial budaya yang Islami sebagai ekosistem yang dikreasi untuk menyuburkan benih-benih politik Islam. Pertumbuhan majelis taklim sebagai salah satu medium kehadiran otoritas baru yang dikelolah oleh pendakwah dan kelompok baru yang beraliansi dengan elit agama serta politik. Ruang-ruang tersebut sangat mungkin digunakan sebagai ladang subur dimana benih-benih politik disemai disana.
Kedua, ada kebangkitan kehidupan islami di ranah sosial-budaya yang tak terkait langsung dengan politik tetapi memiliki arsiran. Misalnya, kehendak sekelompok masyarakat untuk menegakkan dimensi moral dalam kehidupan keseharian yang tak jarang masuk dan melakukan intervensi pada ruang-ruang privat. Secara langsung ini seperti tak terkait dengan agenda politik, tetapi sejatinya kelompok-kelompok tersebut sedang mengirim pesan politik melalui aktivitasnya.
Ketiga, munculnya motivasi ekonomi dari kebangkitan identitas keislaman tersebut. Ini bisa dilihat misalnya dalam fenomena menjamurnya perumahan berbasis Syariah. negosiasi antara agama dan pasar, motivasi keagamaan dan dimensi ekonomi. Perumahan Syariah atau Islami bisa dikategorisasikan sebagai perwujudan dari “negosiasi” antara pasar dan motivasi keagamaan; bisnis dan nilai-nilai religius; yang sakral dan yang profan. Potensi eksklusivitas ada disini.
Keempat, tumbuhnya kesadaran Islami yang ditandai oleh meningginya kesalehan melalui institusi atau simbol tertentu. Kehadiran lembaga-lembaga filantropi Islam, bisa menjadi contoh untuk hal ini. Pertumbuhan yang cukup besar dari kalangan menengah muslim menjadi daya pendorong kuat kehadiran lembaga filantropi itu. Contoh lain adalah semakin banyak Muslimah yang berjilbab. Kesalehan yang menanjak ini juga tak bisa serta merta digeneralisasi sebagai pertanda politik.
Banyak Varian
Gejala dimana muncul ekspektasi mengalasi kehidupan sosial dengan kehidupan bernuansa Islam nyatanya jauh lebih kompleks; baik aktor, motif maupun instrumennya. Empat jenis seperti yang tertera diatas tidak bisa merepresentasikan kejadian di lapangan yang sesungguhnya memiliki interkoneksi diantara variannya.
Catatan pentingnya, tumbuhnya semangat keberislaman tentu tidak bisa serta merta disamakan dengan fanatisme keagamaan yang berporos politik dan berujung pada keinginan mendirikan negara Islam. Seperti yang digambarkan diatas, ada pertumbuhan di level sosio-kultural yang terpola untuk menciptakan lingkungan yang nyaman secara politik, tetapi ada varian lain dengan motivasi berbeda.
Fakta yang tak bisa dibantah adalah, selalu ada kekuatan politik elektoral yang membaca dan memanfaatkan tumbuhnya semangat keberislaman ini sebagai kapital sosial untuk diubah menjadi alat melegitimasi kekuasaannya.