Gay Di Antara Persimpangan Jalan

Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

Membicangkan relasi seksualitas dengan arah humanisme peradaban manusia seakan-akan tak pernah ada habisnya. Kita tahu sendiri, bahwa seksualitas bagaikan ruang raksasa yang begitu kompleks, permainan rasa, seni, hasrat, tabu hingga politik berada disana. Pada gambaran umumnya, kita bisa melihat bahwa sejarah dituliskan oleh pemenang. Relasi seksualitas, dengan ditopangnya doktrin-doktrin agama, politik, hingga kependidikan, relasi seksual dirumuskan ke dalam varian yang begitu simpel; yang normal dan yang abnormal, yang halal dan yang haram, serta yang berkah dan yang laknat. Dalam hal ini, hanya satu jenis hasrat seksualitas-lah yang dikatakan sebagai hal yang absah, yakni heteroseksual.

Pengabsahan ini dinilai pula dengan kecocokan antara bentuk kelamin manusia; Laki-laki mempunyai penis yang berbatang, sedangkan perempuan mempunya vagina yang berlubang. Cocok sekali bukan sebagai puzzle dalam sebuah pasangan relasi seks? Inilah yang dinamakan sebagai pandangan bimorfis, yang dimana hanya ada laki-laki dan wanita tulen menikah. Tapi saya pribadi melihat, bahwa kontruksi sosial semacam ini cukup menggelikan, karena pada esensinya, relasi sosial sesungguhnya bukanlah sebuah ilmu pasti semacam rumus fisika maupun matematika, relasi maupun realitas sosial selalu tidak pasti. Selalu ada intervensi dari dimensi-dimensi luar yang mewarnainya. Inilah mengapa, baik itu culture, relasi sosial, politik, dsb. selalu beragam ekspresi dan bermetamorfosis.

Dengan adanya wajah generalisasi seksualitas yang cukup represif, melahirkanlah kelompok pemenang; yakni kaum heteroseks. Dalam konteks Indonesia, selain (seksualitas) menjadi hasrat biologi, ia juga menjadi sebuah ekspresi kultur. Seksualitas mampu menjadi alat pemuas hasrat dan nafsu, namun juga ia bisa menjadi sebuah identitas sosial. Sehingga wajah seksualitas itu sendiri menjadi ganda; Yang Ekspresi dan Represif. Dalam hal ini, melalui History of Sexuality Volume I-nya Foucault, kita tidak bisa menilai selamanya bahwa seksualitas merupakan ekspresi kebebasan. Ia terus menerus menjadi perhatian yang cukup serius, baik dalam konteks Eropa abad 18-19-an (Victorian Age), maupun dalam konteks keindonesiaan kini. Hasrat tiba-tiba ditransformasikan menjadi sebuah masalah yang penting yang akhirnya menjadi diwacanakan. Apalagi melalui Freud tentang wacana psikoanalisis-nya yang menaruh seks sebagai suatu masalah semenjak balita, implementasinya pada saat ini ia sudah menjadi sebuah identitas tersendiri yang berkelanjutan pada eksistensi diri manusia. Download Makalah

Baca Juga  Warga Sapta Dharma Rentan Terdiskriminasi
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini