Gereja Karismatik merupakan satu bagian dari kekristenan kontemporer. Sekarang, beberapa orang mengatakan ini adalah kekuatan ketiga kekristenan, setelah Katolik, denominasi Protestan dan Pentakosta-Karismatik. Jumlahnya, menurut beberapa peneliti, lebih dari 500juta orang di seluruh dunia. Pusatnya tidak lagi di Eropa dan Amerika, tapi di Afrika, Amerika Latin dan Asia. Banyak orang mewaspadai aliran uang dari Eropa dan Amerika, padahal sejarah Misi di Indonesia, setidaknya di Jawa, mencatat keberhasilan itu tidak dilakukan oleh para misionaris dari Eropa dan Amerika yang berkulit putih, tetapi justru dari orang Jawa sendiri. Orang lokal, denganpengalaman supranatural, seperti kasus Kyai Sadrach, justru terjadi konversi terbesar di Jawa terjadi disitu.
Gereja Karismatik yang jumlahnya 2000 atau lebih itu masuk kategori Mega Church dalam kategorisasi yang dibuat peneliti-peneiti di Amerika. Gerakan ini secara umum, muncul di Amerika tahun 1960-an di kalangan Gereja Protestan tradisional. Jauh sebelum itu, pada tahun 1906 gerakan ini muncul di Amerika, di kalangan orang kulit hitam yang saat itu menjadi budak. Sehingga spiritualitasnya model Afrika, dengan oral tradition serta ibadah yang ekspresif dan pengalaman supranatural.
Tetapi pengakuan bahwa gerakan ini berakar dari spiritual Afrika, baru muncul belakangan. Ini terjadi ketika Walter J Hollenwager, seorang sarjana Pentakosta yang aktif di Dewan Gereja Dunia, Missiolog, yang juga Guru Besar Missi di Universitas Birmingham, menulis bahwa akar Pentakostalisme adalah spiritualitas orang kulit hitam di Amerika yang ingin membebaskan dirinya. Yang menarik, Pentakosta awal ini menjadi semacam spiritualitas rekonsiliasi. Dimana orang yang tidak berpendidikan boleh berbicara di depan yang sebelumnya hanya orang yang berpendidikan Teologi. Perempuan juga boleh berbicara di depan laki-laki. Orang kulit hitam bisa berbicara di depan orang kulit putih. Jadi ada semangat rekonsiliasi dalam pengalaman itu.
Sayangnya, kelompok yang menjadi arus utama dalam Pentakosta itu kulit putih. Kalau di Indonesia pernah mendengar Sidang Jemaat Allah atau Assemblies of God, itu denominasi Pentakostal yang besar di Amerika Serikat. Ketika pengalaman rohani model Afrika diadopsi oleh orang kulit putih, mereka menjadi bahasanya “dijinakkan.” Ibadahnya menjadi teratur, ada urutan yang baku. Pemahamannya juga harus menyusun konsep teologi yang didasarkan pada teks, bukan pengalaman yang spontan. Maka kemudian ada pergeseran. Yang satu menjadi semakin mapan. Ada pengalaman kesembuhan, doa-doa, spiritual, dan salah satu yang utama di gerakan ini adalah glosolali atau bahasa roh. Pengalaman berbahasa lain yang tidak dimengerti oleh orang lain, dan hanya dimengerti Tuhan. Atau dia sendiri tidak mengerti. Jadi ini penglaman yang spontan yang cukup menakutkan bagi orang yang terbiasa dengan sistem dan teratur. Ketika arus ini masuk pada kelompok kulit putih di Amerika yang lebih middle class, mereka menjadikan pengalaman ini tidak di hari minggu tapi ibadah khusus hari Senin.
Kelompok kulit hitam hampir tidak pernah ditulis dalam sejarah Pentakosta, ketika kelompok kulit putih kuat. Tokohnya, William Seymour, karena ia tidak berpendidikan teologi formal dan ada diskriminasi kuat di Amerika, maka ia tidak masuk dalam catatan sejarah sebagai tokoh. Baru ketika Hollenwager mengenali kalau akar Pentakosta itu justru ada di spiritualitas budak-budak kulit hitam Afro-Amerika. Ini spirit pembebasan. Perempuan boleh berbicara. Siapa yang mendapat ilham boleh berbicara, tanpa membedakan latar belakang etnis, gender atau pendidikannya. Itu tidak diberikan di kalangan Gereja Pentakosta yang sudah mapan, diatur. Ini di Amerika di tahun 1906. Ada teori-teori baru yang mengatakan bahwa ini bukan hanya satu titik. Di Korea tahun 1904, ada gerakan doa yang punya corak sama. Di India ada Pandita Ramabai, seorang pendeta lokal perempuan yang juga punya pengalaman ekstatis yang sama. Di Cina juga. Sehingga teori bahwa gerakan ini muncul dari Amerika juga mulai banyak dipertanyakan. Yang membedakannya mungkin karena gerakan dari Amerika ini menyebar. Mereka meyakini bahwa karunia ini menyuruh mereka untuk berdakwah. Pergi ke bangsa-bangsa lain tanpa harus belajar bahasa. Biasanya kalau misionaris belajar dulu bahasa dan kebudayaan tempat yang akan dikunjungi. Dengan sebuah keyakinan iman mereka pergi kemana-mana, tanpa persiapan panjang.
Mereka datang pertama ke Indonesia, sekitar tahun 1925. Sekitar tahun 1920an, antara keluarga dari Amerika dan Belanda datang di tahun yang sama tapi bulan yang beda. Catatan-catatan yang ada hanya mencantumkan versi yang Amerika tanpa menantumkan versi Belanda dengan detail.
Gerakan ini lebih statis di Amerika, tapi kemudian di tahun 1960-an mulai masuk di gereja-gereja tradisional; Katolik, Metodis, Anglikan, Presbiterian. Pengalaman-pengalaman spiritual yang sama. Jadi kalau ingin mempelajari Gerakan Karismati dan Pentakosta, banyak yang titik berangkatnya salah. Karena mereka mendekati atau belajar dari doktrin atau teks, sementara mereka sendiri tidak berangkat dari situ, tapi dari pengalaman. Kalau kita mendekatinya dari doktrin, mereka sendiri apa yang dipraktekan hari ini, besok direvisi. Karena eksperiensial. Saat masuk ke gereja-gereja arus utama di Amerika tahun 1965, kemudian menjadi arus baru. Pada tahun 1980-an coraknya lain, akan ada gereja yang lebih konservatif dan evangelical masuk dalam pengalaman ini.
Tahun 1980-an ada model gereja Independen di Afrika atau China. Ada model kekristenan di Afrika yang tidak terikat pada organisasi apapun. Pendetanya orang lokal, punya pengalaman spiritual, lalu memulai gereja dan berkembang. Ada yang jumlahnya puluhan, ratusan dan puluhan ribu. Itu yang berkembang pada tahun 1980-an yang biasa disebut Neo-Pentakosta atau Neo-Karismatik. Inilah Pentakosta generasi ketiga. Mereka ini tidak selalu punya hubungan historis dengan Pentakosta 1906 (generasi pertama) dan Pentakosta 1960 (generasi kedua), sehingga lebih independen. Banyak yang mengatakan ini Non-Denominational atau Independent Churches. Kalau jemaatnya ditanya, tidak semua tahu secara historis apakah ini ada hubungannya dengan generasi pertama atau kedua. Yang mereka ketahui, mereka punya pengalaman spiritual dan relasi dengan Tuhan. Ini yang kemudian dituduh sebagai “Kristen Transnasional” yang ditengarai punya hubungan dengan kelompok serupa di Amerika, Singapura, Korea, karena kesamaan tampilan dan istilah yang digunakan. Di Indonesia, riset tentang itu, minim sekali. Tidak ada riset yang mengkaji apakah betul apa yang dilakukan dan dihayati oleh kelompok ini sebagai akibat dari transnational network atau penghayatan yang kontekstual yang memang keterkaitan dengan jejaring internasional tidak terelakkan karena mudah mengakses dari internet.
Kelompok ini dulu, pada generasi pertama, berorientasi pada other-worldly. This world is not my home. Itu istilah yang biasa dikenal. Karena spiritualitas generasi pertama adalah spiritualitas penderitaan. Mereka menantikan dunia di seberang sana. Tanah air yang lebih baik. Tempat yang lebih baik. Rumah yang disediakan Tuhan bagi mereka yang lebih baik ada dibalik langit biru. Jadi kalau disimak, lagu-lagu dari generasi pertama, kedua dan ketiga itu berbeda-beda. Ini salah satu cara untuk mempelajari apa yang mereka percayai. Mereka tidak punya tradisi tertulis untuk membuat risalah teologis, pokok pengakuan iman. Jadi kalau ingin mempelajari teologi, ya dari lagu-lagunya. Apa yang dinyanyikan jauh lebih kuat dan jauh lebih dihidupi daripada yang ditulis dan dibaca.
Kelompok-kelompok yang tadinya seperti itu (cenderung berdoa, pengalaman spiritual), 20 tahun terakhir, punya kecenderungan untuk terlibat dalam isu sosial dan permasalahan publik. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga Amerika, Afrika dan Amerika Latin. Ada riset dari Miller dan Yamamori, mereka menyebutnya Progressive Pentacostal. Kelompok Pentakosta yang keyakinan imannya konservatif, tetapi orientasi praktisnya berubah. Dari yang tadinya menganggap dunia politik, ekonomi dan sosial itu sebagai sesuatu yang tidak suci, sekarang pandangannya bergeser. Ini sesuatu yang perlu kita terlibat di dalamnya. Perlu diberi pengaruh. Perlu membawa kabar baik, berita Injil, masuk dalam berbagai bidang kehidupan. Bukan hanya, “buying soul.” Orang Hindu di India mengistilahkan misionaris Kristen sebagai “membeli jiwa” dan menukarnya dengan pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya.
Dibalik keterlibatan sosial ini, pandangan teologisnya masih tetap. Konsep misinya tetap konservatif. Namun implementasinya berbeda. Menyentuh banyak aspek. Seorang perempuan kulit putih, di Hongkong, namanya Jackie Pullinger, sudah lebih dari 20 tahun masuk ke kelompok pengedar dan pecandu narkoba. Ia bikin shelter, untuk penampungan pecandu itu. Banyak yang kemudian sembuh, lepas dari ketergantungan dan menjadi volunteer untuk membantu yang lain. Ketika ditanya, mantan pecandu itu mengatakan bahwa ia disuruh oleh Tuhan. Saat ditanya uangnya darimana, ya tidak ada. Ketika ditanya rencananya mana, ya tidak ada. Kami hanya berdoa untuk itu. Jadi ketika membaca riset-riset tentang kelompok ini, seperti tengah membaca spiritual testimoni. Miller dan Yamamori memberi catatan, orang yang meneliti kelompok Pentakostal-Karismatik, sudah berangkat dari asumsi untuk meriset mereka. Jadi memaksakan. Misalnya teori yang banyak digunakan untuk membaca kelompok Karismatik adalah institusionalisasi dan rutinisasi Karisma. Dan teori itu sering tidak bisa terbukti.
Yang juga sering diabaikan dalam penelitian-penelitian Pentakosta adalah pengalaman spiritual. Padahal mereka saat ditanya selalu mengatakan bahwa ini adalah pengalaman supranatural. Mereka dibimbing Tuhan untuk itu. Unsur ini, ketika orang meriset, kerap diabaikan. Allan Anderson, menambahkan yang juga sering diabaikan dalam riset Pentakosta adalah mengabaikan unsur teologi. Masalahnya mereka tidak punya buku Teologi Sistematika, atau pokok-pokok iman. Kalau mau teologi, dengarkan lagu-lagunya, khotbah pendetanya, testimony anggota gereja-gerejanya atau Teologi Operatifnya.
Partisipasi publiknya meningkat pesat. Keterlibatan sosial dari gereja-gereja Pentakostal itu dipengaruhi 3 faktor. Pertama, ukuran gereja. Semakin besar sebuah gereja, semakin besar juga peluang mereka terlibat. Kedua, leadernya. Pastor senior ini akan menentukan arah, visi dari gereja itu. Kalau pemimpinnya bilang berdoa saja, maka ya semuanya akan berdoa. Kecenderungan umumnya seperti itu. Ketiga, situasi eksternal atau konteks dimana gereja itu ada. Apakah kekristenan sebagai minoritas, mengalami diskriminasi dan lainnya.
Riset terakhir dari Mega Churches di Amerika mengindikasikan bahwa pelayanan ke komunitas sekitar 74% sebagai tertinggi kedua yang jadi prioritas diantara gereja-gereja mega. Survey 2006 di Australia menunjukan bahwa pengunjung gereja mega ini lebih cenderung untuk menyalurkan uang, memberikan barang dan menolong yang kecanduan narkoba, dibandingkan dengan pengunjung Gereja Protestan lainnya. Ada kecenderungan bahwa baik anggotanya maupun gereja-gereja yang lebih besar terlibat secara sosial lebih besar dibanding gereja kecil. Tahun 2000 ada survey terhadap 14.000 gereja di Amerika dan menunjukan semakin besar gereja, maka semakin besar pula keterlibatan mereka di bidang sosial. “Size does matters,” jadi ukuran itu sangat menentukan. Salah satu dari variable penting keterlibatan publik kalangan Pentakostal adalah jumlaah anggota gereja. Ini berarti bahwa ukuran itu menentukan sebagai salah satu variable. Semakin besar gereja, semakin besar resourcesnya, baik untuk relawan, jejaring, fasilitas budget dan lainnya. kekuatan finansialnya juga lebih besar.
Di Indonesia, keterlibatan publik ini yang paling umum adalah charity. Menjual sembako murah, pengobatan gratis. Ini yang paling umum, di hampir semua gereja, terutama untuk warga di sekitarnya, menjelang natal atau lebaran. Ada juga sunatan masal. Jadi bentuknya insidentil, bukan jangka panjang. Kalau ada yang kebanjiran, diberi bantuan, makan siang. Tidak punya tim yang bekerja long-term. Memberi makan anak jalanan dan lain sebagainya. Rata-rata mereka juga punya sekolah, poliklinik. Di Semarang misalnya, rata-rata gereja Pentakostal-Karismatik punya poliklinik. Gereja Isa Almasih Dr Cipto, Gereja Isa Almasih Pringgading, GPI Gajah Mada, Gereja Tabernakel, Gereja Alfa Omega, hampir semua poliklinik murah untuk warga sekitar. Ini bentuk yang paling umum dimiliki.
Keterlibatan sosial lain semakin terasa pasca 1998 ketika krisis ekonomi mulai terasa. Banyak yang kemudian mendirikan Yayasan, masuk ke banyak bidang termasuk community development. Jadi tidak lagi charity, tetapi sesuatu yang berkesinambungan. Umumnya dengan yayasan yang tidak langsung dilakukan oleh gereja.
Persoalannya sejak awal, setiap bantuan baik dalam bentuk charity maupun community development ini selalu tersandung isu Kristenisasi. Ini persoalan lama ternyata. Kalau baca disertasinya Alwi Shihab, Muhammadiyyah didirikan sebagai upaya Membendung Arus. Karena waktu itu, misi Belanda sebagai akibat politik etis, tidak lagi dengan pendekatan tradisional tetapi membangun rumah sakit dan sekolah. Ini yang dirasa tidak adil. Muhamadiyyah kemudian merespon terhadap pola misi ini.
Bagi beberapa gereja, isu ini menjadi semacam hambatan. Mereka tidak semua berani menghadapi isu ini. Ini selalu muncul dimana-mana. Ada riset tentang Gereja Karismatik di Jakarta yang berpartisipasi di ruang publik dan community development, tapi leadernya bilang nama gerejanya jangan disebut. Ini terjadi. Hampir semua yang terlibat secara luas dalam pelayanan sosial, masuk ke ruang publik akan menghadapi isu Kristenisasi ini.
Menurut Philip Jenkins, masa depan Kekristenan itu di Afrika, Amerika Selatan dan Asia. Di satu sisi di kelompok Islam yang berkembang adalah Islam garis keras, sementara kelompok Kristen yang berkembang adalah kelompok model Karismatik. Jenkins meramalkan, clashnya itu. Saat bukunya dibedah di Jogjakarta, para Teolog Protestan menolak ramalan Jenkins. Dugaan saya, konflik fisik tidak akan terjadi. Orang Karismatik tidak punya atau belum punya legitimasi teologis untuk melakukan kekerasan.