Oleh: Tedi Kholiludin
Selebrasi menyambut ramadlan tak hanya berkaitan dengan kehidupan, tetapi juga kematian. Tak cukup berbicara tentang sisi duniawi, tetapi juga “dunia lain”. Begitulah sebagian besar masyarakat muslim di nusantara menautkan kehidupan fisik disini, dengan kehidupan ruhani disana. Tak heran jika kemudian dalam momen-momen tertentu yang dianggap istimewa, keseimbangan-keseimbangan (hidup-mati, fisik-psikis, dan seterusnya) itu terus dijaga.
Tradisi gugur gunung misalnya, atau nyekar. Meski esensi dari ritual itu adalah ziarah kubur, namun menjadi berbeda nilainya karena ia dilakukan jelang puasa. Selain mendoakan, tetapi ada juga yang seperti hendak mengajak mereka yang sudah pergi meninggalkan kehidupan ragawi untuk turut serta menyambut ramadlan. Ada dialog yang khas diantara mereka yang pergi ke kuburan. Peziarah terlihat seperti berbicara dengan batu nisan dimana nama seseorang tertulis disana.
Yang lain, masyarakat Jawa mengenal tradisi megengan. Megengan berarti menahan. Bungkus ritualnya bisa bermacam-macam. Ada yang dilakukan secara kolektif di sebuah musholla atau masjid, tetapi banyak juga warga yang melakukannya di rumah masing-masing dengan mengundang tetangga dan kerabat. Di kota-kota besar, bahkan ada yang menghelat megengan kubro. Dengan “menahan”, harapannya, mereka memasuki bulan ramadlan dengan keadaan yang sudah siap secara ruhani. Bersih dari kotoran-kotoran jiwa, sebelum ramadlan benar-benar membersihkannya. Yang menarik, di setiap megengan, harus ada apem sebagai panganan wajib. Orang Jawa memaknai apem sebagai simbol atau perlambang dari “afwan” alias maaf. Karenanya, apapun menunya, dalam setiap megengan, selalu ada kue apem yang dibuat dengan berbagai variasi.
Saya hendak melihat dua contoh ritus jelang puasa tadi sebagai sebuah produk kebudayaan melalui dua cara pandang; kognitif dan simbolik.
***
Dalam pemahaman Ward Goodenough (1991), budaya tidak dimaknai dalam pengertian materialnya. Budaya dalam konteks ini dipahami dari sudut pandang kognitifnya. Ia berkaitan dengan sistem pengetahuan seseorang atau kelompok yang memungkinkan perilakunya bisa diterima oleh sebuah kelompok masyarakat atau institusi yang lebih besar.
Ketika sebuah nilai baru hendak ditawarkan, maka sebuah kelompok masyarakat hanya mungkin bisa menerima jika substansi itu memiliki korelasi dengan nilai lama. Ketika nilai tersebut tidak menjangkar, maka ia berpotensi tertolak. Jikapun diterima, maka penerimaan tersebut disertai dengan proses dekonstruksi atau mungkin bahkan destruksi terhadap pola dan tradisi lama, plus nilai yang dikandungnya. Pendek kata, harus ada kontinuitas harus terus dijalankan disini.
Membiarkan tradisi seperti gugur gunung atau megengan untuk tetap dijalankan memiliki dua makna sekaligus. Di satu sisi, praktik ini sekaligus sebagai langkah untuk melanjutkan sistem pengetahuan yang sudah memiliki jangkar kebudayaan pada masyarakat Jawa. Upaya ini dilakukan agar tidak ada keterputusan tradisi. Ketika ada sistem pengetahuan baru sekalipun, maka yang ada adalah sebentuk pengayaan, bukan sesuatu yang benar-benar ada dari tiada. Makna yang kedua adalah menunjukkan tentang sifat dinamis dari ajaran Islam.
***
Jika Goodenough melihat dari sudut pandang mental, maka Clifford Geertz (1973) meniti kebudayaan dari sudut pandang simbolnya. Budaya, kata Geertz adalah tentang aturan makna terdalam yang secara bersama-sama dimiliki masyarakat. Jadi ia bersifat simbolik. Karena sifatnya yang simbolik ini, maka ia harus diberi diinterpretasi untuk mendapatkan makna atas itu.
Apem dalam tradisi megengan bukanlah tentang kue yang terbuat dari tepung terigu, telur dan kemudian dibungkus sebelum dikukus. Bahkan, kue apem yang dibungkus dengan dedaunan dan plastik saja memiliki makna yang berbeda. Simbol menjadi alat komunikasi bagi komunitas tertentu. Seperti yang disinggung diatas, orang Jawa memberi tafsir atas apem sebagai simbol permohonaan maaf, sebelum mereka memasuki bulan ramadlan.
Demikian halnya dengan nyekar atau ziarah kubur. Sebagai sebuah perilaku, tindakan manusia bersifat simbolik. Kata Geertz, budaya itu bersifat publik. Meski tidak ada dalam kepala manusia atau dengan kata lain, tak bersifat fisik, budaya bukanlah entitas yang gaib. Ia mencontohkan tentang kedipan mata. Untuk memahami kedipan mata sebagai sebuah tindakan manusia, perlu telaah atasnya. Ia mengajukan sebuah deskripsi tebal (thick description) untuk menangkap makna yang lebih dalam atas tindakan tersebut. kedipan mata, karenanya tak sekadar mata yang beradu, tetapi ia bisa bermakna banyak hal; isyarat agar berwaspada, menunjuk siapa orang yang dimaksud, pengaminan dan seterusnya.