Oleh: Tedi Kholiludin
Rentetan peristiwa di satu minggu terakhir, memantik pertanyaan tentang komitmen hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. Di Sragen, intimidasi kepada siswi yang tidak menggunakan jilbab dilakukan oleh unit kerohanian sekolah setempat. Di Solo, seorang siswi SMP dikeluarkan karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman sekolahnya yang berjeniskelamin laki-laki. Ramai juga percakapan di media sosial, berita di tahun 2018 yang kembali diunggah; pernyataan Forum Umat Islam (FUI) Bima, Nusa Tenggara Barat soal Pura atau tempat ibadah umat Hindu yang dianggap najis dalam teologi Islam.
Ketiga kasus sudah mendapatkan klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Pada apa yang terjadi di Sragen dan Bima, pihak-pihak yang terlibat sudah memberikan sanggahan. Intinya, kira-kira, mereka hanya menyampaikan apa yang ada dalam ajaran Islam. Perintah (yang berbau intimidasi) tentang pemakaian jilbab, dilakukan, sebagai bagian dari dakwah. Begitu pun FUI di Bima. Menurut mereka, yang disampaikannya bukanlah untuk menyinggung umat agama lain, khususnya Hindu. Dalam al-Qur’an, sembari menyitir At-Taubah ayat 28, disampaikan bahwa orang musyrik itu najis.
Harus diakui, agama atau teks keagamaan, membuka potensi bagi penganutnya untuk bersikap eksklusif. Sumber eksklusivitas bisa berasal dari pelbagai bentuk. Teks keagamaan adalah salah satu yang menginspirasi. Begitu juga kelompok keagamaan. Laiknya institusi sosial lainnya, agama bisa menjadi alat untuk mengeksklusifkan diri. Singkatnya, dari teks, sebuah kelompok sosial lahir. Bacaan atas teks secara eksklusif, berpotensi melahirkan sebuah kelompok sosial yang eksklusif pula. Begitu pun sebaliknya.
***
Karena Indonesia dibangun dari keragaman agama, budaya dan etnis, maka problem eksklusivitas yang ada di masing-masing entitas primordial itu mau tak mau harus diatasi. Ketika memilih Pancasila sebagai dasar negara, problem ideologis itu sesungguhnya sudah selesai. Tidak ada identitas suku atau agama yang menjadi dasar bersama. Ini sudah merupakan prestasi yang patut diapresiasi.
Masalah berikutnya adalah tentang bagaimana menciptakan cara baca atas keluhuran, superioritas kelompoknya. Term najis, kafir dan murtad itu memang ada. Termasuk juga nomenklatur yang berkaitan tentang sifat kudus, umat terbaik, umat terpilih dan lainnya. Cara baca seperti apa yang perlu dibangun, agar, berbarengan dengan kepemilikan terhadap entitas primordial, sebuah kelompok juga bisa hidup bersama dengan kelompok lainnya dalam sebuah payung nasional.
Pada tulisan sebelumnya di laman ini, saya pernah menyitir pernyataan JJ Rousseau. “Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya, sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan”, katanya dalam Social Contract. Intinya, kata filusuf Prancis itu, hubungan sosial dan politik akan sangat berhubungan dengan pandangan keagamaan seseorang. Mereka tak mungkin berelasi dengan orang yang dianggap kafir, karena, menurut pandangan teologisnya, tindakan seperti itu dimurka Tuhan.
Dengan begitu, hubungan sosial yang egaliter, haruslah diawali dengan pandangan teologis yang terbuka. Sejauh eksklusivitas itu masih mendarahdaging, relasi-relasi keseharian masih akan kental diwarnai semangat segmentasi.
***
Berbarengan dengan tersedianya bahan baku yang eksklusif, agama juga mengandung, bahasanya Scott Appleby, powerful medicine, obat yang mujarab. Pada dasarnya, tradisi agama secara internal bersifat plural, cair, berkembang dan responsif terhadap interpretasi baru yang dibuat oleh para pemimpin agama, serta mampu membentuk individu, gerakan sosial dan komunitas yang mempraktekan dan mempromosikan toleransi dan anti kekerasan satu dengan lainnya.
Intoleransi atau bahkan kekerasan atas nama agama terjadi ketika pemimpin ekstrim dalam reaksinya terhadap ketidakadilan dalam struktur lingkungan masyarakat, berhasil menggunakan argumen agama dalam memobilisasi aktor-aktor agama untuk membalas kepada musuh-musuhnya.
Perdamaian umat beragama akan tercipta ketika militansi keberagamaan didedikasikan untuk teknis keterampilan anti kekerasan dan kemampuan profesional dalam mencegah dan memberi peringatan dini, mediasi dan konsiliasi, serta elemen lain dalam transformasi konflik.
Hidup bersama di Bumi Pancasila adalah tentang bagaimana mengolah semangat transformatif yang terkandung dalam tradisi agama, sebagai energi untuk mengokohkan fondasi hidup bersama.