Hizbut Tahrir, Struktur Politik dan Masalah “Theological Vacuum”

Oleh: Tedi Kholiludin

Mengapa Hizbut Tahrir sukses berkembang di Inggris dan Uzbekistan sementara di Mesir dan Turki seolah menemui jalan buntu? Ihsan Yilmaz (2010) dari Deakin University memaparkannya dalam sebuah paper bertajuk “The Varied Performance of Hizb ut-Tahrir: Success in Britain and Uzbekistan and Stalemate in Egypt and Turkey”.

Menurut profesor yang mengkhususkan risetnya dalam studi Islam, Society dan State di Turki, Pakistan dan Asia Tengah itu menuturkan bahwa setidaknya dua variabel bisa digunakan untuk membaca sukses tidaknya performa Hizbut Tahrir di empat negara tersebut: struktur politik dan teologi.

Kita mulai dengan Uzbekistan. Meski lebih dari 90 persen penduduk Uzbekistan adalah muslim, tetapi, kata Yilmaz hampir separuh dari mereka tidak terlalu memiliki kecakapan pengetahuan tentang Islam yang mumpuni. Atau, tak terdidik di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang punya kualifikasi. Karenanya ada “kekosongan teologis” disana.

Di sisi lain, ada situasi krisis identitas pasca bubarnya Uni Soviet selain juga problem ekonomi yang akut. Masalah tingginya pengangguran menyertai rendahnya kualitas hidup masyarakat miskin di beberapa area pedesaan Uzbekistan. Krisis sosial dan ekonomi serta politik ini ditangkap dengan baik oleh Hizbut Tahrir. Dibandingkan dengan kelompok Islamis lainnya, Hizbut Tahrir menawarkan solusi yang komprehensif tetapi mudah ditangkap. Slogan yang diapungkan digunakan untuk melawan masalah korupsi, kemiskinan, pengangguran, prostitusi dan sebagainya. Anak-anak muda usia 17-35 menjadi target dan akhirnya bergabung. Hizbut Tahrir pula yang menjadi konektor masyarakat Asia Tengah kepada muslim dunia.

Mesir menggambarkan situasi yang sedikit berbeda. Meski mungkin sama keadaannya dengan Uzbek dari sisi sosial-ekonomi dan politik, tapi Yilmaz bilang “there is no theological vacuum”, teologi terisi terus, tidak pernah kosong. Ikhwanul Muslimin cukup solid di negara tersebut. Hizbut Tahrir tidak cukup mendapatkan banyak pengikut di Mesir. “HT’s influence in Egypt is diminished due to the dominance of the Muslim Brotherhood where the movement has managed to survive and operate despite the difficulties,” tulis Yilmaz.

Baca Juga  Identitas Penghayat Kepercayaan

Dalam konteks ini, Turki menunjukkan keserupaan kasus dengan Mesir. Di negeri itu, Hizbut Tahrir juga tak berkembang. Faktor yang melatarinya, menurut Yilmaz adalahkarena Turki berhasil mengintegrasikan Islamisnya ke dalam sistem demokrasi. Selain itu, kaum Islamis Turki menghasilkan nilai-nilai, intelektual, pemimpin, dan lembaga mereka sendiri, sehingga sulit bagi kelompok luar untuk mendapatkan pijakan. Ditambah dengan begitu banyaknya terbitan, universitas-universitas agama, kelompok sosial dan lainnya. Hizbut Tahrir agak kurang berkembang karena hadangan dari infrastruktur sosial yang legal seperti itu.

Inggris, meski hampir mirip dengan Turki, tetapi disana ada “kekosongan teologis” dan cukup menarik bagi kalangan muslim yang merasa didiskriminasi. Ada pengembangan politik identitas disana. Dan karenanya, Hizbut Tahrir bisa berkembang di kalangan muslim Inggris.

***

Indonesia, menurut saya adalah kasus yang sedikit berbeda dengan Uzbekistan, Turki, Mesir maupun Inggris. Meski mungkin ada kesamaan dengan salah satu atau salah dua dari empat negara itu dari sisi struktur politik, tapi bisa jadi beda secara teologis. Pun sebaliknya. Bahkan mungkin variabelnya tak hanya struktur politik dan soal teologis, tapi juga ada soal lain

Pertanyaan pertama, kita mencoba mengikuti alur berpikirnya Yilmaz; apakah HT di Indonesia masuk kategori sukses atau stalemate? Jawaban moderatnya, kita katakan sukses di satu sisi, sampai kemudian pemerintah Jokowi membuat mereka stalemate, menghadapi jalan buntu. Kesuksesannya tentu saja terjadi karena (i) struktur kesempatan politik (dalam teori Gerakan Sosial Modern) yakni reformasi. (ii) konsolidasi kelompok ini pada era pra-reformasi, meski mungkin dilakukan secara pelan di bawah tanah, tapi bibitnya terus disemai.

Selain itu, konsolidasi juga bisa dikategorikan berhasil karena ada (iii) isu ekonomi-politik yang berhasil dikapitalisasi; negara gagal, ekonomi memburuk dan seterusnya. Sehingga solusi yang sudah lama disiapkan bisa segera dihadirkan. Ada imajinasi untuk meromantisir sejarah kegemilangan Islam untuk ditarik ke kondisi sekarang. Ditawarkanlah Khilafah Islamiyah, yang sesungguhnya adalah “old wine in the new bottle.”

Baca Juga  Semua Manusia adalah Khalifah

Menariknya, meski ada “kesuksesan” memobilisasi di satu sisi, Hizbut Tahrir juga seperti menabrak tembok, terutama di era pemerintahan sekarang. Seperti kita tahu, di era sebelumnya Hizbut Tahrir punya kesempatan menghiasi ruang publik. Ini misalnya terjadi di 2 Juni 2013, ketika mereka menyelenggarakan Muktamar Khilafah di Jakarta.

Jalan buntu ditemukan oleh Hizbut Tahrir setidaknya karena (i) political will dari pemerintah yang melarang organisasi ini membuat gerak mereka semakin sempit. Ini kendali pertama yang dalam bahasanya Yilmaz dikategorikan sebagai faktor struktur politik. (ii) kelompok muslim tradisional (baca: Nahdlatul Ulama), yang memainkan peran dengan tidak membiarkan terjadinya “kekosongan teologis.” Ini tembok kokoh yang meski terus digembosi, masih tetap kuat menghadang Hizbut Tahrir yang mencoba merebut ruang teologis dengan kuasa politiknya.

Di luar itu, saya kira, ada variabel ketiga di luar struktur politik dan teologis, yakni cultural power, kekuatan budaya. Resistensi terhadap Hizbut Tahrir, kalau kita cermati, tak hanya datang dari kelompok nasionalis, muslim (dan kelompok keagamaan lain) yang tradisional-moderat tetapi juga masyarakat nusantara yang menyandarkan berbasis adat. Hemat saya, meski mungkin masih pada level hipotesa, ini faktor pembeda antara Indonesia dengan Turki atau Mesir. Selain budaya dalam kategori grup (kelompok budaya), resistensi juga datang dari sistem budaya dalam pengertian pola pikir masyarakat Indonesia.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini