Indonesia dalam Indeks Terorisme

Oleh: Tedi Kholiludin

Penangkapan tiga orang terduga teroris di Bekasi, Sabtu (10/12/16) kembali mengejutkan warga. NS, AS, dan DNY ditangkap karena diduga akan meledakkan bom di istana negara besok hari. Tak lama kemudian, polisi juga menangkap SY alias Abu Izzah di Karanganyar yang diduga perakit bom yang dibawa tiga orang yang ditangkap di Bekasi. Di hari yang sama, ledakan juga terjadi di Turki.

Aksi penangkapan terus berlanjut di beberapa kota seperti Tangerang dan Purwakarta. Menurut Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, total sudah ada 21 orang yang terindikasi terlilbat jaringan terorisme yang sudah ditangkap. Beberapa diantaranya meninggal dalam kontak senjata.

Alih-alih mengapresiasi, Muhammad Syafii, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan bahwa penangkapan itu bukanlah sebuah prestasi. “Kalau sekadar menangkap dan menembak saya kira itu bukan merupakan prestasi, yang bisa menjadi modal untuk menghabiskan teroris itu kalau kita mampu menguak eskalasi gerakan teroris dan jaringannya, jadi bukan menangkap dan menembaknya,” katanya.

Meski memang sudah menjadi tugas dan kewajiban sebagai alat negara, menangkap mereka yang terindikasi terlibat dalam jaringan terorisme jelas kerja yang patut diapresiasi. Dalam waktu yang berdekatan, Bom meledak di Istanbul, Turki dan menewaskan 39 orang. Di Kairo, 28 orang meninggal, Aden (60 orang), Mogadishu (29 orang) Kenya (40 orang) Nigeria (160 orang). Di Indonesia, bom berhasil dijinakkan dan para pelakunya tertangkap tanpa ada korban. Melihat hal tersebut bukan sebagai sebuah “prestasi” tentu adalah sebuah kejanggalan.

Dampak yang ditimbulkan memang tak ringan. Mengembalikan kepercayaan adalah salah satunya. Institute for Economics and Peace mengeluarkan Global Terrorism Index (GTI) 2016 yang mengukur dampak yang ditimbulkan akibat gelombang terorisme. Lima negara yang paling terdampak oleh terorisme adalah Irak, Afganistan, Nigeria, Pakistan dan Syria. 23 negara tercatat sebagai wilayah dengan kematian tertinggi akibat terorisme sejak 2015. Ini berarti meningkat dibanding tahun 2014, yang hanya ada di 17 negara.

Baca Juga  Islam Politik dan Represi Orde Baru

Temuan lainnya adalah penurunan angka kematian akibat terrorism sebanyak sepuluh persen di tahun 2015. Kematian akibat terorisme menurun sepuluh persen pada tahun 2015 (berjumlah 29.376). Ini merupakan penurunan pertama dalam jumlah kematian yang tercatat sejak tahun 2010.

Dari perspektif aktor, survey tersebut menemukan ada empat kelompok yang bertanggungjawab terhadap 74 persen kematian karena terorisme; ISIL (Islamic State of Irak and Levant), Boko Haram, Taliban dan al-Qaida. ISIL melampaui Boko Haram sebagai teroris paling mematikan pada tahun 2015. ISIL melakukan serangan di 252 kota yang berbeda pada tahun 2015 dan bertanggung jawab atas 6.141 kematian di tahun ini. Kelompok yang berafiliasi dengan ISIL juga bertambah banyak. Dari tadinya hanya ada di 13 negara menjadi 28 negara.

Terorisme juga berdampak secara global terhadap perekonomian. Pada tahun 2014, kerugian ditaksir sekitar US$52,9 miliar dan meningkat menjadi US$89,6 miliar pada tahun 2015. Irak merupakan negara yang terdampak paling tinggi secara ekonomi. Dibandingkan dengan negara yang dilanda peperangan, kontribusi sektor pariwisata di negara yang aman tercatat dua kali lebih besar.

Negara yang sangat terdampak sebagai akibat dari tindakan terorisme mendapatkan skor 10. Irak adalah negara yang nyaris sempurna, untuk kategori ini dengan skor 9.96. Disusul Afghanistan (9.444), Nigeria (9.314), Pakistan (8.613) dan Syria (8.587). di kawasan Asia Tenggara, Filipina menjadi negara yang paling terdampak (7.098) kemudian Thailand (6.706).

Indonesia, berdasarkan ranking yang dibuat Institute for Economics and Peace, ada di urutan 38 dari 163 negara yang disurvey dengan skor 4.429. Atau sebagai negara yang ada di peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara yang sangat terdampak. Sebuah posisi yang terang saja, sangat mengkhawatirkan. Meski ada di posisi tengah, tapi jika dibandingkan dengan negara tetangga Singapura yang skornya nol (0) misalnya, situasi negara kita patut mendapatkan perhatian serius.

Baca Juga  Hizbut Tahrir, Struktur Politik dan Masalah “Theological Vacuum”

Kerja-kerja penanggulangan terorisme, apapun bentuknya, tentu adalah hal yang mesti terus diupayakan. Deteksi terhadap sel-sel baru yang terkadang tidak terkoneksi dengan jaringan besar memang membutuhkan kecermatan. Aksi terorisme di beberapa tempat bahkan merupakan inisiatif pribadi.

Motivasi yang melatarinya sulit diidentifikasi sebagai faktor yang homogen. Apakah ada soal psikologis, kesenjangan sosial-budaya, ketegangan politik, perlawanan terhadap imperialisme budaya atau pemahaman keagamaan yang eksklusif.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini