Oleh: Tedi Kholiludin
Apakah Indonesia masih menjadi model bagi sebuah negara moderat? Tidak, kata Benedict Rogers, penulis laporan bertajuk “Indonesia: Pluralism in Peril – The rise of religious intolerance across the archipelago.” Tradisi moderasi di Indonesia sudah berakhir. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia tak ubahnya seperti Pakistan sekarang. Rogers yang bekerja sebagai pekerja Hak Asasi Manusia (HAM) menuliskan uraiannya itu dalam sebuah esai berjudul “Stop Calling Indonesia a Role Model. It’s Stopped Being One.”
Pakistanisasi Indonesia, mungkin terdengar mengerikan, terang Rogers. Dan mungkin hal tersebut tidak bisa dikatakan akurat seratus persen untuk menggambarkan Indonesia terkini. Tetapi, sebagai sebuah peringatan, tentu ini hal yang patut didengar, dan perlu tindakan yang sangat mendesak untuk diambil agar tidak terjadi prediksi yang mengerikan itu. Kalangan umat Islam moderat harus terus didorong oleh masyarakat internasional, tetapi tak perlu lagi memujinya sebagai sebuah model yang perlu ditiru.
Indonesia, seperti yang sering kita dengar dari retorika para pejabatnya, kerap mendaku sebagai role-model, negara demokrasi dengan mayoritas muslim yang moderat dan pluralistik. Sebagian besar memang benar, karena masih banyak ulama, ilmuwan dan aktivitis masyarakat sipil serta pemimpin muslim yang mempertahankan pluralisme. Tapi, (disini Rogers mulai menunjukkan ketidakpuasannya), negara ini seperti bermain dengan api. Bagaimana para politisi “moderat” memberikan platform bagi kelompok radikal, menguatkan kelompok intoleran adalah contohnya.
Disini, Rogers kemudian menjejerkan fakta yang dijadikannya sebagai justifikasi kesimpulannya itu. Kasus Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang dipenjara karena kasus penodaan agama, anak kecil yang membawa bendera Islam, penutupan rumah ibadah, atau anak perempuan 15 tahun yang memutuskan pertemanan dengan kawan seusianya karena mereka berbeda agama adalah sederet kenyataan yang menyebabkan moderasi jadi pertanyaan. Belum lagi kasus terorisme yang tak hanya bersifat lokal, tetapi terkoneksinya gerakan ini dengan berbagai negara di luar Indonesia.
Tidak ada Konflik Besar
Pasca reformasi, konflik (bernuansa agama) dengan akibat yang besar, sejatinya “berakhir” pada kasus Maluku dan Poso. Dalam catatan National Security Violence Monitoring (NSVM), yang dikutip Sana Jaffrey dkk, konflik di Maluku Utara menyebabkan 3257 orang meninggal, di Maluku 2.793 orang dan 517 orang meninggal di Sulawesi Tengah. Hal tersebut berlangsung dari 1998-2002.
Sejak tahun 2003, konflik yang menyebabkan kematian memang menurun tajam. Hanya di Sulawesi Tengah saja, dari 2006 hingga 2012, konflik menyebabkan orang meninggal dalam jumlah hingga 50-an. Di Maluku dan Maluku dan Utara, jumlah mereka yang meninggal, meskipun ada, namun tidak dalam jumlah besar seperti halnya pada awal-awal reformasi.
Dalam laporan bertajuk “How Large Conflicts Subside: Evidence from Indonesia,” Jaffrey mengatakan salah satu alasan mengapa konfliknya menurun adalah efektivitas intervensi keamanan oleh negara, terutama di provinsi-provinsi yang memiliki konflik tinggi. Negara secara keseluruhan mampu mencegah eskalasi episode kekerasan tersebut, yang berpotensi berubah menjadi bara yang lebih besar.
Pada bagian ini saya kira penting mencermati perubahan-perubahan yang terjadi di level masyarakat. Bahwa, situasi konfliktual yang mencekam di era-era awal reformasi mulai berhasil diturunkan eskalasinya. Meski laporan diatas menyebutkan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh intervensi negara, tetapi inisiasi-inisiasi perdamaian sipil (civic peace) juga penting untuk dicatat.
Meski begitu, harus diakui memang bahwa strategi pengelolaan konflik yang dilakukan oleh negara akan selalu berjalan dalam jangka panjang kecuali jika pemerintah mengatasi penyebab konflik yang mendasarinya. Bahwa ada penurunan dalam hal korban, saya kira itu memang hal yang sangat melegakan, tetapi, frekuensi kekerasan tetap tinggi, bahkan hingga sekarang.
Membaca kekhawatiran Rogers, saya kira kita tinggal memilahnya saja, pada bagian mana Indonesia bisa dijadikan model dan mana yang tidak. Keberhasilan negara dan upaya-upaya perdamaian yang terus digelorakan oleh akar rumput, tentu adalah langkah yang penting untuk diapresiasi. Saya masih percaya, bahwa perdamaian otentik itu ada dan masih terpelihara. Apakah ini tidak bisa dijadikan model? Sudah barang pasti ini adalah teladan yang sangat berharga.
Yang tak bisa dijadikan model tentu saja ketika kita menjumpai fakta tentang menggejalanya politisasi agama, ujaran-ujaran kebencian yang merajalela, penolakan pembangunan rumah ibadah dan eksklusivitas lainnya. Kita patut mengkhawatirkan laporan-laporan terkini yang menyatakan bahwa teroris itu ada di sekitar kita. Pun, dengan prediksi akan terjadinya Pakistanisasi atau Balkanisasi Indonesia dalam jangka 10 tahun yang akan datang. Antisipasi-antisipasi terhadap situasi tersebut mestilah harus dikuatkan. Kelompok-kelompok yang kerapkali disebut sebagai silent majority, tentu tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.
Dan, jika kita cermati dengan baik, saat ini kelompok moderat sudah dalam posisi menyerang balik. Untuk kasus ini, kita bisa lihat misalnya sikap Gerakan Pemuda Ansor dari pusat sampai bawah. Semua struktur, satu komando menyerukan perlawanannya terhadap kelompok yang berpotensi memecah belah negara. Apakah ini juga bukan model?