“Gagasan Eka tentang Pancasila diproduksi pada era despotik orde baru. Kita tahu saat itu, pemerintah memaksakan Pancasila. Jadi, konteks pergumulannya saat itu adalah pemerintahan yang otoriter,” kata Steve Gaspersz, intelektual Kristen kepada elsaonline, Kamis (18/6). Tetapi, tambah Steve, gagasan Eka masih kental dengan nuansa Jawa. “Sebenarnya ini masih sangat kuat Jawanya. Padahal kan ada Marxisme yang jelas itu tidak berasal dari pikiran kita,” kata Gaspersz yang juga mahasiswa program doktor Indonesian Consortium for Religious Studies, Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta tersebut.
Steve mengatakan, ide Eka Darmaputera ini yang membedakannya dengan John TItaley, teolog Kristen lainnya yang juga menggumuli pemikiran tentang Pancasila. “Titaley menganggap Pancasila itu sebagai melting pot dari penerimaan Sukarno terhadap nasionalis, Islam dan Marxis. Ketiganya boleh hidup secara bersama-sama sebagai Indonesia. Titaley menafsirkan Pancasila Sukarno dari pergulatan ideologi-ideologi yang membentuknya. Pemikiran Titaley ini juga berbeda dengan Simatupang,” terang ayah dua anak ini panjang lebar.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Steve mengakui kalau apa yang dilakukan oleh Eka, dan juga Titaley, merupakan terobosan dalam Kekristenan. Menjadikan Pancasila sebagai area berteologi merupakan fenomena yang tergolong baru dalam tradisi intelektual Kristen. Karena selama ini, gereja-gereja lebih banyak bergumul dengan dirinya sendiri, belum banyak bicara keIndonesiaan secara luas. “Persamaan mereka berdua (Eka dan Titaley) adalah ingin menjadikan pluralitas agama di Indonesia ini secara teologis,” ujar Steve.
Dialog “teks suci” dan “teks sekuler”
Sejak akhir 1990-an studi agama di Indonesia mulai banyak dilakukan dengan pendekatan interdisipliner. “Di Kristen, Titaley mengembangkan model itu, mendialogkan ‘teks suci’ dan teks ‘sekuler.’ Bagi Titaley masalah dalam memahami Pancasila pertama-tama adalah soal eksklusivitas agama. Itu dulu yang harus dibongkar,” Steve menjelaskan.
Sayangnya, percakapan Pancasila dan keIndonesiaan pasca Eka dan Titaley tidak terlalu banyak dikembangkan oleh teolog-teolog Kristen. “Kalaupun ada, ya masih sangat reaksioner. Kalau ada gereja ditutup, baru ramai-ramai bicara tentang dasar bersama. Tetapi usaha yang serius dan kontinyu untuk menjaga keragaman ini tidak diupayakan,” kritik Steve.
Ini artinya, tradisi berteologi dalam kalangan Kekristenan sesungguhnya masih sangat primordial. “Rata-rata masih berada di comfort zone. Belum banyak yang mempercakapkan tentang Pancasila di luar apa yang dipikirkan ole horde baru misalnya. Karenanya mereka (intelektual Kristen) harus keluar dari zona nyaman itu,” tukas penulis buku “Iman tidak pernah Amin.”
Diskursus tentang misi juga turut disoroti Steve. Menurutnya, masih banyak gereja-gereja yang memahami misi dalam kerangka Kristenisasi. “Di negara-negara Eropa seperti Belanda misalnya, misi dengan pemahaman seperti itu sudah tamat. Kita di Indonesia juga mestinya tidak lagi mengembangkan model misi seperti ini. Perlu perumusan misi dan praksis misi yang baru agar lebih kontekstual,” usul Steve.
Jika ini yang dipahami, maka dialog-dialog yang dikembangkan selama ini juga akan lebih berdampak. Ia melihat seolah-olah dialog antar umat beragama adalah dialog yang diliput media dan dilakukan di hotel mewah. Padahal dialog sejati yang berkontribusi besar terhadap upaya menjaga keragaman adalah kerja-kerja mereka yang tak diliput media. “Saya melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok yang selama ini konsisten menjaga harmoni di level bawah di Jogjakarta. Mereka melakukannya dengan berbagai cara yang sangat kreatif, misalnya melalui seni. Kita juga bisa mencermati bagaimana kyai-kyai dan tokoh agama kampung itu berperan sangat penting dalam menjaga harmoni sosial,” tandas Steve.
Steve mencontohkan pengalamannya ketika berada dalam situasi konflik di Ambon dan sesudahnya. Baginya, pengalaman tersebut, betapapun pahitnya tetap memberikan makna yang sangat manis. Umat Kristen di Ambon tidak hanya “Mempelajari Islam” atau studying Islam, tapi Mengalami Islam (experiencing Islam). “Jadi kami mengalami tidak sekadar mempelajari Islam. Hal yang sama juga terjadi dengan teman-teman Muslim yang mengalami Kristen. Dan dialog sangat mungkin akan memberikan makna dalam konteks seperti itu,” kata Steve menutup pembicaraan. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]