Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, dalam dialog dengan Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkepercayaan (Sobat KBB) di Jakarta, baru-baru ini.
Dalam relasi (agama-negara) itu, lanjut Lukman, maka yang ideal untuk konteks Indonesia adalah simbiosis mutualisme. “Nilai-nilai keagamaan kental mewarnai kehidupan bangsa. Dan negara punya peran untuk melindungi hak warga negara untuk bebas memeluk dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing,” terang Lukman.
Fenomena merebaknya intoleransi merupakan ekses dari relasi agama-negara yang terganggu. “Masalah yang kerap muncul adalah negara yang dikuasai oleh kelompok mayoritas. Juga dominannya negara dalam mengatur agama baik melalui kebijakan aktor-aktornya ataupun regulasi,” kata putera Syaifuddin Zuhri, Menteri Agama di era Soekarno. Maka dari itu, Lukman menekankan pentingnya mencari titik keseimbangan.
Lukman tidak memungkiri bahwa dalam menyelesaikan masalah agama, diperlukan kearifan banyak pihak untuk menumbuhkan toleransi. “Kadang kita terlalu banyak menuntut untuk dipahami tetapi tidak berusaha memahami orang lain,” tutur mantan pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama tersebut.
Betapapun peliknya sebuah problem, Lukman meminta agar sesegera mungkin dicarikan solusinya. Karena semakin lama persoalan itu ditangani, maka akan semakin mengkristal. “Ego masing-masing pihak perlu diturunkan. Masyarakat perlu terus diedukasi,” himbau ayah tiga anak itu.
Tanpa menafikan ada beberapa persoalan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, Lukman masih menyimpan optimisme bahwa dialog adalah jalan paling bijak dalam menyelesaikan masalah. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]