Ironis, Penyiaran Agama Justru Dilakukan Negara

Liputan FGD Problematika Penyiaran Agama

[Semarang – elsaonline.com] Salah satu persoalan yang menggurita dalam hubungan antaragama di Indonesia adalah penyiaran agama. Pada dasarnya setiap agama memiliki nature untuk mengenalkan ajaran agamanya kepada orang lain. Tapi, tak jarang model penyiaran tertentu justru menjadi pemicu konflik. Hal inilah yang menjadi pembahasan pokok dalam diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion/FGD) Problematika Penyiaran Agama yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, 28 Juni kemarin. Mengambil tempat di Hotel Muria, diskusi ini diikuti oleh praktisi media, akademisi hingga kelompok keagamaan.

Dalam sambutannya, Direktur eLSA Tedi Kholiludin memaparkan bahwa FGD merupakan rangkaian dari program monitoring dan advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Tengah yang dilakukan eLSa. Selain FGD, ada beberapa rangkaian kegiatan lainnya seperti investigasi, collecting data, annual report, laporan bulanan, dan kampanye di media. “FGD ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang problematika yang muncul dalam persoalan penyiaran agama”, pungkas Tedi.

Peserta FGD berfoto bersama

Rony Chandra, staf pengajar di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Abdiel Ungaran didapuk menjadi fasilitator. Rony mengatakan bahwa FGD ini akan membahas masalah yang berkaitan dengan model penyiaran agama yang berpotensi mengundang konflik. Apakah itu berasal teks kitab suci atau ajaran-ajaran yang bersifat ekslusif atau aspek lainnya yang jika disampaikan ke publik tentu akan menimbulkan dampak yang kurang baik. Kata Rony, selama ini orang beragama sering mengatkan bahwa agama tidak mungkin menimbulkan konflik karena kebanyakan agama-agama mengajarkan kebaikan. Agama tidak mungkin (mengajarkan) pertentangan, pembunuhan. Padahal, kalau kita mau berkata jujur, ada ayat-ayat dalam agama yang berbicara masalah kekerasan. Kesannya,  tidak ada tempat bagi mereka terutama golongan yang berbeda dengan dirinya, yang lain itu adalah salah dan ditempatkan dalam level bawah, mereka punya hak yang berbeda.

Baca Juga  Mengedukasi Kelompok Rentan sekaligus Menyiapkan Respons Pandemi

Sementara Budi Santoso dari Komunitas Sedulur Sikep (Samin) Undaan Kudus menceritakan tentang diskriminasi yang dideritanya. “Disini kalau kita bicara tentang agama maka kami adalah komunitas Samin yang mengakui punya agama (Samin). Tetapi kalau melihat landasan pemerintah (tentang agama), maka kami (dianggap) tidak punya agama” terang Budi. Karena komunitas Samin tidak mempunyai kesempatan untuk menyiarkan agama, maka biarkanlah Samin mengamalkan ajarannya sendiri. Sehingga penghargaan terhadap ajaran-ajaran yang berbeda bisa menyentuh lapisan bawah, terutama kepada minoritas seperti dia dan kelompoknya.

Dalam satu kesempatan Budi bercerita tentang masalah pendidikan agama yang terjadi pada anaknya saat bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kudus. Kata Budi, ia bermaksud menyekolahkan anaknya itu dengan tujuan bahwa mereka bisa lebih maju dari dirinya. Ia berharap pihak sekolah dapat memahami posisinya sebagai warga Samin. Namun sekolah (pada awalnya) meminta anak Budi untuk mengikuti  pelajaran agama non Samin. Meski sekarang sudah tidak lagi, tetapi saat pelaksanaan ujian, mereka tetap diminta untuk memilih mengikuti ujian salah salah satu pendidikan agama, Islam atau Kristen.

Cerita getir warga Samin tak sampai di situ. Tekanan ia rasakan justru banyak datang dari pemerintah ketimbang warga masyarakat. Salah satunya dirasakan pada saat Budi akan menikah. “Saat itu pemerintah pernah memaksa dan saya didatangi oleh pemerintah desa setempat. Kamu boleh menikah dengan orang dari sini, tapi harus menikah secara adat desa sini, Islam” urainya.

Kru eLSA berfoto bersama Budi Santoso (ketiga dari kiri) dan Karsono (kedua dari kanan) dari Sedulur Sikep Kudus

Dari aspek teks, Khoirul Anwar dari eLSA menuturkan bahwa memang ada potensi yang datang dari bacaan terhadap sumber otoritatif Islam, Qur’an dan Hadis yang menjadi rujukan untuk merumuskan hukum Islam. Secara tekstual, al-Quran tidak ada yang membicarakan bahwa tidak masuk Islam harus dibunuh. Al-Qur’an menyebut istilah dhimmi. Dalam Islam ada darul kufr dan dar Islam. Dari dua pembedaan ini kemudian memunculkan istilah dzimmi, mengadakan perjanjian dengan orang Islam. Lalu memunculkan istilah mu’ahid. Intinya, non muslim ada dua, ada kafir harbi dan tunduk pada kekuasaan Islam, Kafir Dzimmi. Istilah itu sudah ada jauh sebelum Islam datang.

Baca Juga  Pencatatan Pernikahan Umat Bahai Masih Terkendala

Dalam Islam, kalimah dzimmi muncul pertama kali ketika nabi hijrah di Madinah. Saat di Mekkah nabi tidak memunculkan istilah itu. Dalam al-Quran Dhimmah itu hanya muncul dalam surat At-Taubah ayat 8 dan 10. Istilah kafir dzimmi, kemudian mengalami kekacauan istilah yang diabadikan hingga sekarang. Akhirnya definisi kafir dzimmi dan harbiy didefinisikan secara spekulatif. Penyiaran agama menurut Islam masing-masing boleh. “Saya muslim dan menyampaikan ajaran saya dibolehkan dalam Islam, tetapi ketika orang yang saya dakwahi menerima dengan hati yang legawa. Tetapi jika saya menyampaikan ajaran Islam, namun orang lain tidak mau, maka saya akan dimarahi Tuhan, terang Anwar.

Triono Lukmantoro, pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Diponegoro menuturkan bahwa, pada dasarnya agama itu ingin membedakan dari yang lain, entah lebih hebat atau lebih unggul. Mereka bisa menggunakan berbagai cara untuk membedakan itu. Teks kemudian sebagai pembenar, atau sabda nabi. Yang menakutkan dari pembenar itu adalah ekslusifme. “Saya tinggal di dekat masjid. Apakah bisa dikatakan dakwah kalau saya tiap hari mendengar adzan, menurut saya adzan itu bukan dakwah tapi ajakan. Beda dengan khotbah jumat. Apakah khotbah jum’at perlu disampaikan dengan speaker?  Saya pernah complain tapi justru saya yang malah disalahkan” tuturnya.

Triono, yang biasa akrab dipanggil TL mengingatkan bahwa soal minoritas itu bukan soal jumlah yang kecil. Tetapi minoritas itu mereka yang mendapatkan diskriminasi dan prasangka. Orang Syiah itu mayoritas di Irak, tetapi pada masa Sadam Husen didiskriminasi. “Orang Samin juga. Sudah kecil, diperasangka sebagai orang-orang yang tak berbudaya” lanjut TL. Ada pembedaan yang diciptakan oleh masing-masing kelompok agama. Kata TL, persoalanya apakah ada teks pembenarnya (untuk pembeda) atau tidak? Pasti ada. Persoalannya ada pada kepentingan si penafsir, bukan teks itu sendiri. Teks itu selesai dengan masa lalunya. Betapapun kita menafsirkan teks, kontekstualisasi menjadi sangat penting.

Baca Juga  Koordinator Pelita Hibah Buku untuk eLSA

Kemudian, budaya Pop juga kajian menarik. “Tidak pernah ada pemilihan pendeta cilik atau pendeta muda, adanya pemilihan dai muda dan dai cilik. Kalau ada mesti orang berteriak, itu kristenisasi di televisi. Karena asumsinya penonton kebanyakan adalah orang Islam. Setiap kali kelompok yang dianggap kecil menyampaikan program tertentu, pasti dianggap dakwah. Pemilihan dai itu sama saja seperti Indonesian Idol, mereka ingin mendapatkan iklan. Di media itu tujuannya apa? mendapatkan iklan. Bahwa ada idealisme untuk  mencerdaskan masyarakat itu iya, tetapi secara organisatoris yang dicari adalah iklan (uang).

Budi menuturkan banyak acara di televisi yang sangat merugikan kelompoknya. Salah satunya film yang tiap hari diputar. “Dalam film misteri ilahi, yang pakai baju hitam itu adalah orang yang jelek, dan bagian yang salah dalam terakhirnya” kata Budi.

Rofiudin, dari Aliansi Jurnalis Independen, mengatakan berbicara media tentu tidak bisa dilepaskan dari uang, kekuasan dan politik. “Tempo punya ideologi untuk membela Ahmadiah, tapi juga tidak bisa dilepaskan dari uang juga” tuturnya. Kadar ideologi di media, menurut Rofi terkesan kabur karena yang ditonjolkan adalah ekonomi politiknya. Ada media yang menonjolkan ekonominya dan ada yang menonjolkan ideologinya. Dalam hal radikalisme agama, kebanyakan media ingin menghindakan diri dari peliknya agama

Dalam aspek legal review Kerukunan Beragama, Syafrudin Rifai, peneliti independen mengatakan bahwa kita membutuhkan banyak referensi karena regulasi kita tidak memiliki filosofi yang bagus. Indonesia tidak punya basis filsafat hukum sendiri, misalnya referensi dari adat istiadat yang dibahas dalam sosiologi hukumnya. (e)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini