Oleh: Muhamad Sidik Pramono
Setelah beberapa kali melewati jalan di perbatasan Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Mijen, tepatnya di toko bangunan pojok Jalan Duwet hanya bisa melihat mencium bau jagung bakar, akhirnya saya dapat mampir dan membeli satu jagung bakar. Malam itu, sehabis makan nasi goreng saya diantarkan oleh Rusda menuju lokasi penjual jagung bakar tersebut.
Sesampainya di lokasi membutuhkan waktu agak lama menunggu jagung milik saya dibakar oleh bapak dan anak yang berasalkan dari Ponorogo tersebut. Ini disebabkan karena proses pembuatannya hanya menggunakan arang yang dikipasi dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu. Selain itu juga dikarenakan saking banyaknya antrean yang membeli jagung bakar, waktu itu ada sepuluh jagung yang harus dibakar. Pada akhirnya, setelah menunggu kurang lebih 45 menit jagung milik saya selesai dibakar.
Ada ketertarikan tersendiri dalam diri saya untuk membeli jagung bakar tersebut. Pertama karena memang sulit untuk didapat lebih-lebih di kota macam Semarang ini hampir dipastikan sulit. Biasanya di kota-kota besar jagung bakar hanya dapat ditemui ketika digelar acara seperti pasar malam atau festival-festival kerakyatan. Kedua adalah tentang ingatan yang melekat ketika melihat jagung bakar.
Tapi menurut saya, alasan kedualah yang menjadi pendorong diri saya membeli jagung bakar meski harus antre beberapa saat. Bagi saya, jagung bakar selalu mengingatkan saya kepada orang tua saya, utamanya ibu. Ada beberapa kenangan yang masih saya ingat hingga saat ini. Salah satunya adalah sewaktu masih kecil mulai dari sebelum saya sekolah hingga besarpun, hampir di setiap festival atau acara rakyat ibu selalu membeli jagung bakar.
Satu hal yang masih membekas hingga sekarang adalah ketika membeli jagung bakar ibu selalu mematahkan jagung bakar dan yang bagian atas dimakan ibu, sedangkan bagian bawah menjadi jatah saya. Ingatan-ingatan itu masih melekat erat di kepala saya. Malam itu, seakan tersugesti dengan kenangan yang ada, ketika memakan jagung bakar saya pun mematahkan terlebih dahulu dan memakan bagian atas terlebih dahulu sembari ingatan berjalan jauh menyusuri kenangan-kenangan sewaktu kecil dulu.
Kekuatan Kenangan
Memang ada kesenangan tersendiri ketika mengenang kenangan yang pernah terjadi, terlebih dengan orang tua atau keluarga. Mengingat kenangan-kenangan masa lalu bagi Profesor psikologi di North Dakota State University, Clay Routledge mempunyai fungsi yang penting bagi seseorang. Dirinya menuliskan di Jurnal Memory jika mengenang masa lalu berfungsi untuk menguatkan orang di masa kini bukan untuk masa lalu.
Bagi Routledge, pengenangan tentang masa lalu dapat menjadi penghubung antara kejadian telah lampau dengan kondisi saat ini atau lebih tepatnya menjadi penguat dan penghangat seseorang atas kondisi saat ini. “Mengenang masa lalu membuat orang memiliki perasaan dicintai, dihargai, meningngkatkan persepsi kehangatan serta dukungan di kala diri sedang kesepian,” jelas Routledge di Huffington Post lihat juga di tirto.id. Saya pun mengamini pendapat Routledge. Perasaan itu saya rasakan ketika memakan jagung bakar di depan barbershop sembari menunggu Rusda yang sedang potong rambut.
Namun, ternyata kenangan juga memiliki kekuatan lain. Kenangan dapat dijadikan alat doktrinasi yang amat politis. Utamanya kenangan yang bersifat kolektif dari sebuah kelompok–sama secara agama, bangsa atau etnis. Kenangan-kenangan kolektif seperti ini bukan hanya dapat membawa kehangatan bagi orang di satu identitas yang sama. Tapi, kenangan masa lalu yang dimiliki sebuah kelompok kolektif juga dapat merancang masa depan.
Sebagai contoh adalah kenangan masa lalu tentang model pemerintahan khilafah yang digaungkan oleh kelompok ekstrimis islam. Mereka memiliki kesamaan kenangan tentang gelora masa kejayaan islam dengan model pemerintahan khilafah kala itu. Kenangan-kenangan itu dijadikan alat doktrinasi sehingga tiap orang meminjam istilah Ernest Bormann sebagai tema-tema fantasi yang sama.
Contoh lain nostalgia atau mengingat kenangan kolektif juga dialami bangsa Indonesia melalui Muhammad Yamin mengulang nostalgia tentang Majapahit-isme. Produksi kenangan tentang kejayaan Indonesia sebagaimana yang dilakukan pada masa kerajaan Majapatiht atau Sriwijaya. Dari situ terbentuk bayang-bayang tentang kegemilangan, dan keagungan masa lalu.
Kenangan umumnya kita pahami sebagai suatu yang personal, privat nyatanya kenangan juga dapat terbentuk secara kolektif. Kenangan yang dikira nirnilai bisa menjadi sangat politis dan dapat dijadikan alat doktrinasi untuk membangun sebuah imajinasi bersama termasuk fantasi soal negara. Dari kenangan juga kita dapat belajar untuk tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Semua bergantung pada siapa yang memanfaatkan kenangan itu sendiri.