
[Bogor – elsaonline.com] Solidaritas Korban Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menyusun rencana strategis untuk 3 tahun ke depan. Jejaring yang dibentuk bulan Maret tahun 2013 ini dimaksudkan untuk memperkuat bangunan solidaritas di antara para korban.
Acara yang dihelat di Desa Wisata Candali Kabupaten Bogor ini diikuti oleh 60 orang yang terdiri dari 40 orang komunitas yang selama ini menjadi korban tindak kekerasan atas nama agama dan sisanya adalah lembaga yang selama ini mendampingi korban-korban tersebut. Kegiatan ini dimulai sejak Minggu (23/3) dan direncanakan berlangsung hingga Kamis (27/3).
Hadir dalam kesempatan tersebut diantaranya antara lain Palti Panjaitan (Pendeta Huria Kristen Batak Protestan [HKBP] Philadelfia), Firdaus Mubarik (Ahmadiyah), Dian Jenni (Penghayat Sapto Dharmo), Kris Hidayat (Gereja Kristen Indonesia Yasmin), Engkus Ruswana (Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan), Budi Santoso (Sedulur Sikep) dan lain-lain. Sementara beberapa perwakilan lembaga yang selama ini turut mendampingi kasus-kasus keberagamaan diantaranya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Setara, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Kontras, C-Mars Surabaya, eLSA Semarang, Lapar Makassar dan lain-lain.
Mubarik menceritakan pengalamannya terlibat dalam kegiatan untuk menuntut hak-haknya sebagai warga negara. “Saya terlibat untuk melakukan advokasi sejak tahun 2005, saat Kampus Mubarak di Parung-Bogor diserang”, ujar Mubarik. Bisa dikatakan, lanjut Mubarik, perasaan untuk melakukan pembelaan itu muncul saat ia dan komunitasnya menjadi korban.
“Mestinya tidak begitu. Jangan menunggu menjadi korban baru kita bergerak,” kata Mubarik menegaskan. Saat menjadi korban, harusnya kita tidak lagi berbicara tentang deritamu deritamu, deritaku deritaku.
Sementara itu, Dian Jenny memastikan bahwa apa yang dikerjakan sekarang harus diperluas. “Saya yakin bahwa kita semua sudah bekerja secara bersama-sama. Sudah banyak yang kita lakukan. Ada baiknya jika kita memperkuat dan berbagi pengalaman tentang apa yang telah kita lakukan di masing-masing komunitas,” urai Dian.
Pendeta Palti yang selama ini berjuang untuk mendapatkan legalitas rumah ibadahnya, juga berharap bahwa suara korban akan didengar jika diteriakan secara bersama-sama. “Harapan kami kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) cukup tinggi. Namun, harapan itu terkadang menemukan sesuatu yang mengecewakan,” kata Palti berefleksi.
Nasirudin Ahmadi, Muballigh Jemaat Ahmadiyyah Indonesia (JAI) Lombok, Nusa Tenggara Barat bercerita tentang nasib warganya yang hingga saat ini masih berada di pengungsian. “Delapan tahun pak, kami berada di pengungsian,” katanya bercerita. Bulan lalu, kata Nasirudin pemerintah datang ke transito untuk mensosialisasikan pemilihan umum (pemilu). “Ada jemaat kami yang lugu, sekolah pun tidak lulus, yang kemudian mengajukan pertanyaan. Mengapa hak untuk memilih saat pemilu diberikan, tapi hak lain (baca: hak beragama dan beribadah) tidak diberikan?” papar Nasir.
Kegiatan ini sendiri memiliki nilai strategis, karena cukup memberikan banyak informasi tentang nasib kelompok-kelompok keyakinan yang selama ini didiskriminasi di pelbagai pelosok negeri. Tak hanya cerita diskriminasi, forum tersebut juga memberikan informasi tentang strategi advokasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang melakukan pendampingan terhadap korban. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]