John Titaley, Plain Living High Thinking

John Titaley (memegang mik) dan Pamerdi Giri Wiloso
John Titaley (memegang mik) dan Pamerdi Giri Wiloso
[Salatiga –elsaonline.com] Berteologi harus dikerjakan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Hal tersebut perlu dilakukan agar kitab suci tidak hanya sekedar sakral tapi juga bermakna bagi masyarakat Indonesia. Demikian ungkap Dr. Pamerdi Giri Wiloso, Pengajar Program Pascasarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Rabu (25/6).

Pamerdi menuturkan itu dalam acara diskusi dan bedah buku “Nyantri Bersama John Titaley,” di joglo Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Salatiga. Acara yang diikuti puluhan mahasiswa UKSW tersebut selain menghadirkan Pamerdi juga mengundang Prof. John Titaley, Rektor UKSW sebagai narasumber.

Realitas sosial, ujar Pamerdi setidaknya terdiri dari empat ruang. Meski sesungguhnya lebih dari empat. Keempatnya adalah ruang pribadi, publik, negara dan pasar. “Pak John itu, di ruang publik sudah mendapatkan tempat tertinggi. Profesor dan Rektor UKSW,” tutur putera Pdt. Borotosemedi, salah satu intelektual Gereja Kristen Jawa (GKJ) tersebut.

Meski ia mendapatkan posisi tinggi di ruang publik, hal tersebut tidak kemudian membuat John menjadi eksklusif. “Kalau Profesor, apalagi rektor itu setidaknya mobilnya mewah dan rumahnya megah. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak John. Anda lihat sendiri, bagaimana ia begitu sederhana dan sangat dekat dengan mahasiswa-mahasiswanya,” tambah Pamerdi.

Pemikiran-pemikiran John Titaley pada akhirnya juga turut ada dalam ruang negara (state sphere). John juga berkontribusi dalam upaya memikirkan kehidupan negara yang majemuk. “Pak John itu masuk kategori plain living, high thinking (hidup sederhana, berpikir adiluhung),” kata Pamerdi. Memanusiakan manusia menjadi refleksi teologis dari apa yang dipikirkan oleh John Titaley.

John Titaley sendiri menyampaikan ucapan terima kasih kepada para penulis buku yang dengan semangat dan kerja kerasnya menerbitkan karya tersebut. “Saya sangat berhutang budi terutama pada Pak Brotosemedi, guru saya. Ia tak segan menegur jika salah baik dengan guyon maupun serius,” terang laki-laki kelahiran 19 Juni 1950 itu. Pdt. Brotosemedi beserta keluarganya tak hanya membuka wawasan bagi dirinya, tetapi juga membuka pintu dan membuka lemari makan serta menyediakan meja untuk makan bersama-sama.

Baca Juga  Kisah Malang Sub-Etnis Kalang [Bagian 2]

Buku Nyantri Bersama Titaley merupakan kumpulan 19 tulisan karya dari murid-murid John Titaley di UKSW. Mulai dari S1 hingga S3. Mereka menyebut dirinya sebagai Komunitas Pembelajar Agama dan Masyarakat Indonesia (KUPAS IDE). Buku itu diterbitkan dalam rangka penghormatan terhadap ulang tahun John Titaley yang ke 64. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini