“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah.
Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku.
Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?”
—R.A Kartini, Jepara, 6 November 1899—
Diatas adalah cuplikan surat-surat Kartini untuk temannya, Stella Zeehandelaar sekitar tahun (1899-1903) di negeri seribu kincir, Belanda. Surat-surat itu termaktub dalam buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya dikenal dengan ”Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Dalam mengarungi masa remajanya, Kartini banyak menuntut ilmu dan membaca buku-buku revolusioner yang kemudian dijadikan bahan “diskusi” dengan temanya meski hanya sekadar lewat surat.
Apa yang menjadi pusat perhatian dan kajian Kartini, nampaknya tidak lepas dari apa yang dialaminya sejak ia lahir pada 21 April 1879, di Mayong, Kabupaten Jepara. Ia dilahirkan dari ayah, yang waktu itu masih berkedudukan sebagai Wedana Mayong, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Wedana, merupakan jabatan masa pemerintahan Belanda, dibawah kekuasaan bupati dan membawahi beberapa kecamatan. Setingkat di atas camat. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang berasal dari golongan biasa, M Ajeng Ngasirah yang berstatus garwo ampil (kedudukanya bukan sebagai istri utama-red).
Ketika ayahnya hendak naik jabatan menjadi bupati, ada syarat khusus yang mengharuskan Adipati Ario Sosroningrat berbuat poligami. Peraturan zaman kolonial waktu itu menetapkan, seseorang yang menjadi bupati harus beristrikan seorang perempuan ningrat.
Padahal sang istri Ngasirah hanya orang desa biasa meskipun trah keluarga santri. Kemudian untuk memenuhi peraturan belanda itu Adipati Ario Sosroningrat menikahi seorang putri bangsawan. Istri keduanya berstatus garwo padmi adalah putri bangsawan yang dikawini pada tahun 1875 keturunan langsung bangsawan tinggi dari madura yaitu Raden Ajeng Woeryan.
Woeryan adalah anak dari RAA Tjitrowikromo yang sedang memegang jabatan Bupati Jepara, sebelum kemudian digantikan oleh RMAA Sosroningrat. (Wawasan, 21/4/12). Pada tahun 1881 RMAA Sosroningrat akhirnya diangkat sebagai Bupati Jepara dan bersama keluarganya pindah ke rumah dinas Kabupaten di Jepara.
Pendidikan dan Kawin Muda
Menginjak usia remaja, Kartini menempuh sekolah formal bangsa Belanda yang bernama Europese Lagere School (ELS). Karena sifat yang ia miliki dan kepandaiannya yang menonjol, Kartini banyak disenangi teman-temannya. Kecerdasan emosionalnya, sosial dan intelektualnya membuat ia dengan mudah bergaul dengan anak-anak keturunan Belanda.
Berkat kerja kerasnya, dalam menjalani pendidikan, Kartini dapat mengimbangi anak-anak Belanda baik pria maupun wanita, dalam berbahasa Belanda. Selang beberapa tahun kemudian selesailah pendidikan Kartini di ELS. Pasca itu Kartini berkehendak melanjtkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Namun niatan mulia Kartini terbentur aturan adat yang ada masa itu. Dimana waktu itu adat yang ada mewajibkan bagi kaum ningrat, bahwa wanita remaja harus menjalani pingitan hingga ada yang melamar untuk menikah.
Masa pingitan Kartini dimulai sejak usia mencapai 12 tahun lebih. Dengan semangat dan keinginannya yang tak kenal putus asa, Kartini berupaya menambah pengetahuannya tanpa sekolah formal.
Ditengah-tengah masa pingitan, kemudian datang tamu utusan yang membawa surat lamran dari Bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat. Kartini pun tak kuasa menolak lamaran, meskipun waktu itu Bupati Rembang sudah beristrikan dua.
Artinya kemudian Kartini resmi menjadi istri ketiga Adipati Djojoadiningrat. Akhirya pada tanggal 12 November 1903 Kartini melangsungkan pernikannya dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat.
Sebelum melangsungkan perkawinan, terlebih dahulu Kartini melakukan perjanjian dengan calon suminya, agar ia tetap diberi kebebasan dalam menggagas pendidikan perempuan. Berkat jasanya, hingga sekarang pendidikan perempuan masih ada dengan nama “sekolah kartini”.
Buah dari perkawinanya dengan Bupati Rembang, Pada tanggal 13 September 1904 Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Singgih/RM. Soesalit. Tetapi keadaan Kartini semakin memburuk meskipun sudah dilakukan perawatan khusus, dan akhirnya pada tanggal 17 September 1904 RA Kartini meninggal pada usia 25 tahun.
Dari perjalanan panjang Kartini, nampaknya masih ada persoalan yang patut menjadi perhatian serius hingga saat ini. Semasa hidup Kartini lekat dengan kehidupan poligami yang itu dilakukan oleh ayahnya sendiri dan juga dirinya yang dipoligami oleh Bupati Rembang.
Pahlawan perempuan dari Kota Ukir ini harus rela nikah dimadu dan putus sekolah. Dua persoalan mendasar itu hingga saat ini masih jamak terjadi di pedesaan. Tak jarang gadis-gadis desa mengalami putus sekolah dan akhirnya menikah dengan siapa saja yang datang melamarnya.
Gadis-gadis desa itu bukan tanpa keinginan melanjutkan sekolah, namun budaya dan tradisi yang ada memaksa mereka untuk menjalani hidup bak Kartini, nikah muda juga putus sekolah. Padahal jika desa mempunyai orang-orang yang berpendidikan tentunya akan bisa merubah kondisi sosial ekonomi masyarakat, karena desa tiangnya kota.
Tak jarang gadis desa ketika hendak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi tersandung oleh perkawinan dini. Sikologi masyarakat desa saat ini masih ada yang berpegang terhadap istilah wanita itu “konco wingking”. Artinya teman dibelakang, perempuan cukup mengurusi dapur, rumah, dan kamar.
Dari cerita Kartini, yang paling menyedihkan adalah sebegitu cepat meninggal dunia. Padahal ia masih mempunyai cita-cita besar untuk mewujudkan perempuan setara haknya dengan laki-laki. Memperoleh pendidikan, akses publik, politik dan keudukan yang sama dengan laki-laki dalam ranah publik.
OK