Oleh: Abdullah Ibnu Thalhah
April 2003, kartunis Denmark, Cristoper Zieler, mengirimkan karya-karya kartunnya tentang kebangkitan Yesus Kristus ke redaksi surat kabar Jyllands Posten. Namun, saat itu pemimpin redaksi Jyllands Posten menolak memuatnya. Jens Kiesr, sang pemimpin redaksi, berkomentar begini: “Saya tidak yakin gambar-gambar ini akan menyenangkan mereka (umat Kristen). Bahkan kebalikannya saya yakin gambar ini akan memunculkan kemarahan mereka. Karena itu, saya tidak akan menyebarkan gambar-gambar kartun ini.”
Jelas, alasannya Jyllands Posten menolak memuat kartun tentang kebangkitan Yesus Kristus adalah khawatir mendapat protes keras dari pembacanya yang beragama Kristen. Takut kehilangan pelanggan, pembeli, pengiklan dan mata rantai yang menghidupi media massa yang kapitalistik itu.
Singkat cerita, anehnya pada 30 September 2005, surat kabar terbesar di Denmark itu memuat dua belas kartun Nabi Muhammad SAW yang kemudian menuai badai kemarahan muslim seluruh dunia. Pertanyaannya, mengapa Jylland Posten memuat kartun Nabi Muhhammad SAW, figur suci sekaligus puncak sandaran spiritual muslim sedunia?
Jawabnya, hak kebebasan berpedapat, ini yang pertama. Yang kedua, kira-kira begini, golongan umat yang satu ini bukan mayoritas pembacanya. Mungkin paling banyak tidak lebih dari 5 persen. Sedikit sekali. Kalkulasinya, kira-kira kalau yang lima persen ini marah lalu menarik diri dari berlangganan, pengaruhnya tidak signifikan bagi keberlangsungan hidup media.
Alasan penolakan Jyllands Posten memuat kartus Yesus tapi kemudian memuat kartun Nabi Muhammad SAW mengungkap persoalan berikutnya: sisi gelap media massa Eropa yang selama ini oleh banyak kalangan dinilai memiliki standar ganda terhadap Islam, di satu sisi. Tapi pada sisi lain, betapa kebebasan berpendapat telah menjadi ‘agama baru’ dalam masyarakat –termasuk media massanya- yang sangat sekuler –terutama di negara Skandinavia. Apa saja boleh dipublikasikan: Tuhan, malaikat, Nabi, bidadari dan seterusnya. Tak ada yang suci lagi, selain kebebasan itu sendiri!
Politik Hasrat
Dunia keberagamaan di era pascamodern menghadapi dua tantangan besar. Pertama, tantangan dari negara-bangsa (nation-state) berupa gelombang demokratisasi liberal ala barat dan kedua, tantangan dari dunia ekonomi global yakni kapitalisme dan konsumersime yang menyertainya. Di satu pihak ada semacam resistensi global terhadap peran agama sebagai sistem pengorganisasian negara dan bangsa sebagai akibat dari ‘terjebaknya’ negara ke dalam sistem demokrasi liberal mdoel barat yang dipaksakan sebagai sistem politik tunggal global sebagaimana dibayangkan oleh Francis Fukuyama.
Di lain sisi, berbagai nilai, makna dan identitas yang ditawarkan oleh dunia kapitalisme dan konsumerisme global bersifat sangat destruktif terhadap, dekonstruktif pada, dan kontradiktif dengan nilai, makna dan identitas yang ingin dipertahankan oleh dunia keberagamaan.
Nah, salah satu tantangan kapitalisme bagi dunia keberagamaan adalah perangkap –meminjam istilah psikoanalisisnya Freud- ‘skizofrenia’. Yakni, gerakan pembebasan diri dari berbagai aturan masyarakat, negara, tradisi dan agama dengan segala ajaran, symbol dan nilai-nilai sucinya. Kapitalisme melahirkan semacam ‘politik hasrat’, yaitu politik menghancurkan segala bentuk penekanan dan model normalitas dalam masyarakat.
Bagi dunia keberagamaan, politik hasrat kapitalisme akan mencairkan setiap bentuk mistifikasi kekuasaan dan symbol-simbol agama. Konsistensi dengan hukum liberalisme ini, tak terkecuali Nabi pun –figur suci sekaligus sandaran puncak spiritualisme dunia keberagamaan- tak bisa luput dari sasaran demistifikasi oleh media massa barat yang memang hidup dalam masyarakat yang mendewakan demokrasi liberal.
Kapitalisme justru ‘menikmati’ pertentangan. Apakah umat suatu agama tertentu keberatan atau tidak dan apakah yang lain membolehkan atau tidak. Karena kapitalisme menerima segala bentuk kontradiksi, selama kontradiksi tersebut tidak mengganggu arus produksi dan konsumsi.
Dalam kasus Jyllands Posten, Nabi Muhammad SAW sebagai symbol kesucian sekaligus puncak sandaran spiritualitas muslim telah ‘dicuri’ oleh kapitalisme media yang kemudian ‘diramu’ secara kontradiktif sedemikian rupa. Sehingga, simbol spiritualitas itu memakna baru: kepongahan dan kekerasan!
Tentu saja, ini hasilnya adalah gambar kartun yang sangat tidak lucu! Namun, terhadap hal-hal yang tidak lucu sekalipun, seorang muslim juga tidak perlu main bakar-bakaran. Sebab, konon menurut sosiolog Bennedict Anderson (1990), secara historis, aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun itu tidak semata mengikuti naluri manusia untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta bahwa masyarakat telah memasuki era komunikasi modern yang tidak memberi tempat bagi unjuk kekuatan dan kekerasan. Jadi, tersenyumlah dengan cerdas, persis seperti senyum Nabi Muhammad!
Ilustrasi: freemusicarchive.org