Oleh: Tedi Kholiludin
Salah satu teoritikus politik yang mencoba mengingatkan bahaya dari ide agama sipil adalah David C. Leege. Leege mengidentifikasi agama sipil atau civil religion di Amerika seperti yang diintrodusir Robert Bellah, sebagai percampuran nilai-nilai agama dan anti agama dari konflik yang inheren diantara keduanya.
Karena budaya harus menawarkan dasar ideologis yang lebih stabil, lebih halus bagi sebuah komunitas politik, maka membangun mitos tampaknya adalah sebuah keniscayaan. Disinilah agama memegang peranan yang cukup penting. Mitos keagamaan tersebut salah satunya dibangun untuk memperkuat posisi Deklarasi Kemerdekaan.
Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih dekat dengan prinsip Katolik.
Dalam Habits of the Heart dan The Good Society, Bellah berbicara mengenai “public church”, term yang dia pinjam dari Martin Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.
Bellah menegaskan bahwa dengan menggunakan kata mitos, bukan berarti bahwa cerita itu tidak memiliki manfaat sama sekali. Mitos tidak mencoba menggambarkan realitas yang historis, karena itu tugas ilmuwan. Mitos berupaya mencari realitas transfigur yang menyediakan makna moral dan spiritual untuk individu dan masyarakat.
Tugas seorang sejarawan adalah menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain agar mampu mendekati kebenaran historis. Pencarian terhadap kebenaran faktual adalah perhatian utama para sejarawan. Kekuatan mereka ada pada argumen, dalil untuk mengokohkan pandangannya.
Norman K. Gottwald, penulis The The Tribes of Yahweh, The Hebrew Bible dan lain-lain menyebut bahwa dalam Alkitab ada tema-tema ”seperti sejarah” atau history-like themes. Ia bukanlah sejarah, meski dinarasikan “seperti sejarah.” Karena kapasitasnya sebagai “seperti sejarah” maka dudukkanlah tema-tema itu bukan sebagai sejarah. Beberapa tema dalam Alkitab, terang Gottwald, didesain untuk kebutuhan liturgis, bukan sebagai fakta historis.
Bahasa agama, memang banyak mengandung metafora. Makna yang sesungguhnya tak bisa ditangkap dari yang tersurat. Apa yang menyembul adalah perkara tekstual yang metaforis, sehingga memerlukan kerja-kerja hermeneutis untuk menangkap makna yang mendekati kebenaran.
Meski bukanlah sesuatu yang bersifat historis, tetapi mitos tetap punya fungsi. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu, penjelasan mitologis terkadang lebih bisa diterima ketimbang pertimbangan rasional. Yang penting, bagaimana agar yang mitologis itu, ditakar dengan kebenaran yang mitologis pula, bukan historis.
Kita kerap ditunjukkan sebuah posisi yang arbitrer. Jika benar, itu adalah sejarah, kalau salah ia adalah mitos. Studi Peter Munz (1956), justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Kata Munz, “myth and history, in a special sense, are interdependent. They fertilise each other; and it is doubtful whether the one could exist without the other.”
Yang benar secara mitologis, tentu tak bisa disalahkan oleh yang historis. Mitologi harus didudukkan sebagai mitologis bukan historis. Saya menyadari bahwa mungkin premis ini tak bisa berlaku di seluruh kajian ilmu pengetahuan. Tetapi dalam studi-studi agama, sejatinya ada ruang yang tersedia untuk sebuah kebenaran yang bersifat mitologis.