Kedekatan Intelektual dan Kedekatan Emosional

Oleh: Tedi Kholiludin

Ada dua alasan mengapa saya menulis tentang tema tertentu. Pertama, kedekatan intelektual. Kedua, kedekatan emosional.

Kedekatan intelektual atau pengetahuan berarti secara keilmuan, objek yang hendak kita tulis itu linear dengan latar belakang akademik yang kita miliki. Kalau saya menulis tentang konflik dan harmoni dalam sebuah kelompok masyarakat misalnya, itu tentu tak lepas dari latar saya sebagai orang yang pernah belajar tentang hal tersebut di kampus.

Apapun segmen yang dikaji; komunitas agama, kelompok etnis, masyarakat dengan ciri spesifik, tetap didekati dengan cara pandang yang dekat secara intelektual. Saat saya menelaah mengenai masalah kesehatan misalnya, saya tetap akan meniliknya dari sudut pandang sosial atau budayanya. Tidak kesehatannya itu sendiri, karena tidak dekat secara intelektual.

Sementara kedekatan emosional, bisa dimaknai sebagai cara kita menelaah sebuah objek yang memiliki ketersambungan secara psikis dengan kita sebagai penulis atau peneliti. Ketika kita menulis tentang “sejarah kecil” keluarga, kita paham bahwa alasan tersebut karena didasari oleh kedekatan secara emosional. Kedekatan emosional bisa terbangun atas dasar banyak hal; geografis, talian darah, perasaan senasib, kesamaan visi dan seterusnya.

Meski dimulai dari sebuah proses kesebangunan secara emosional, menjaga objektivitas mutlak diperlukan, khususnya jika kita hendak menariknya dalam percakapan akademis. Sedikit berbeda jika kita menuliskannya sebatas sebagai catatan-catatan personal dimana subjektivitas masih bisa difasilitasi.

Terhadap dua alasan tersebut, bisa kita melakukan karena satu factor saja, atau kedua-duanya. Saya menulis tentang peran leluhur saya dalam pengembangan pendidikan keagamaan. Inilah kedekatan secara emosional. Atas objek ini, saya kemudian melakukan pendekatan sosial atau budaya yang memang agak sedikit saya pahami.

Baca Juga  Julia Ward Howe dan “Hari Ibu”

Bagaimana jika saya punya kedekatan secara emosional tetapi tema tersebut terlalu jauh dari bidang keilmuan yang saya kenali? Seperti dalam bidang ekonomi, teknologi atau kesehatan. Saya tak mungkin menelaah ekonomi dari sudut pandang ekonomi, kesehatan dari sisi klinis dan seterusnya. Jika hendak tetap memanfaatkan kedekatan secara emosional tersebut secara akademis, maka saya bisa mengikutsertakan pengetahuan yang dekat dengan saya, sehingga ia bisa mengarah pada bahasan mengenai “Kebudayaan dan Kesehatan” misalnya.

Berikutnya, adalah mencari “gap research” atau ruang kosong diantara penelitian-penelitian atau tulisan yang sudah ada. Ini sebenarnya “norma umum” yang berlaku dimanapun. Harus selalu ada yang baru, meskipun, di kolong langit ini tak ada yang benar-benar baru. Ini perlu prasyarat; banyak membaca agar karya tak terkesan sekadar pengulangan dari apa yang ada sebelumnya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini