[Semarang -elsaonline.com] Tahun 2023 ini, Kevikepan Semarang berulangtahun yang ke 57. Kevikepan adalah pemerintahan gerejawi dalam tradisi Katolik yang berada di bawah Keuskupan. Vikaris Epsikopal (Vikep) menjadi pimpinan dalam wilayah Kevikepan tersebut. Sementara, kevikepan sendiri terdiri dari paroki-paroki dimana didalamnya ada Dewan Paroki yang mengelolanya. Keuskupan Agung Semarang (KAS) terdiri dari 5 kevikepan: Semarang, Surakarta, Kedu, Yogyakarta Timur dan Yogyakarta Barat.
Sebagai bagian dari perayaan mensyukuri pertambahan usia, Kevikepan Semarang merayakan berbagai kegiatan. Salah satunya Tirakat dan Doa Lintas Agama yang diselenggarakan pada Selasa (17/10). Bertempat di Aula Gereja Katedral Sukasari, Semarang, kegiatan Tirakatan dan Dialog bertambah meriah karena diiringi oleh berbagai penampilan. Romo Fx Sugiyana, Pr, selaku Romo Vikep membuka kegiatan tersebut.
Diskusi sendiri menghadirkan tiga narasumber; Harjanto Halim, Romo Eduardus Didik Cahyono dan saya sendiri. Harjanto Halim adalah seorang multitalen. Meski latar belakang utamanya adalah pengusaha, tetapi bacaannya sangat luas dan pikirannya kerap menerabas tembok-tembok dogma. “Kalau Romo Didik mewakili tokoh agama, Pak Har ini representasi tokoh bukan agama. Tepatnya beliau seorang spiritualis,” saya berkelakar.
Moderator meminta saya terlebih dahulu untuk memberikan kesana selama berinteraksi dengan umat Katolik. Saya mencoba mengingat bagaimana 20an tahun yang lalu, kali pertama masuk ke Katedral lalu berinteraksi dengan teman-teman Katolik. Ada sedikit ulasan tentang perubahan pola gerakan lintas agama 20 tahun lalu dengan yang sekarang ini berjalan.
“Jika awal tahun 2000-an interaksi lintas agama itu seperti menjadi tanggungjawab tokoh agama semata, tetapi, lima tahun terakhir, jejaring lintas agama tak hanya diisi oleh tokoh agama ataupun mereka yang menempuh studi agama. Dari semua kalangan menjadi bagian penting dari jejaring tersebut” saya membuka percakapan.
Dalam situasi demikian, salah satu yang bisa dicatat dengan baik adalah, selalu ada representasi dari kelompok Katolik dalam lingkaran tersebut. Keterlibatan itu penting untuk dijaga, karena membangun kesadaran internal tentang pentingnya menjaga relasi dengan yang lain itu tidak mudah. Biasanya, suatu kelompok atau individu melibatkan diri dan menjadi bagian dari lingkaran besar setelah kepentingannya terganggu. Menjadi luar biasa, jika yang terjadi sebaliknya; ada keterlibatan meski kepentingannya tidak terganggu.
Tantangan ke depan, saya menambahkan, bahwa, poros kehidupan umat Katolik sejatinya adalah gereja, bukan pastur, romo atau imam. Karena yang menjadi porosnya adalah gereja, maka institusionalisasi atas nilai-nilai itu menjadi penting. “Jika selama ini baru sebatas romonya saja yang terlibat, maka ke depan, harus seluruhnya ikut berpartisipasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing,” saya mengirim pesan.
Berikutnya, tantangan yang kerap menghadang adalah menggejalanya fenomena keberagamaan yang performatif tetapi jauh dari substansi ajaran gereja. Sebuah artikel yang ditulis oleh Anne Hendershott, Profesor Sosiologi di Universitas Fransiskan, Ohio, menyebut kelompok tersebut sebagai “performative Catholicism.”
Harjanto Halim mengajak Gereja Katolik untuk mengambil sikap atas dasar kemanusiaan. Penting bagi gereja untuk melakukan kerja-kerja revolusioner. “Saya senang Romo Didik melakukan pemberkatan terhadap binatang. Itu luar biasa sekali,” Harjanto memberi keterangan.
Selain itu, imbuh Harjanto, gereja harus memberikan porsi yang lebih besar pada pelayanan sosial, dibandingkan ritual. Baginya, gereja harus terbuka kepada siapapun, karenanya karya di bidang sosial mestilah menjadi prioritas. Dengan begitu kehadiran gereja bisa dirasakan dampaknya. Sisi substansi mesti mendapat perhatian lebih, sehingga inklusivitas mesti menjadi bagian dari kesadaran gereja.
“Saya mendapatkan cerita tentang seorang istri yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu kejadian yang tak sekali dua kali. Bagaimana ajaran pernikahan gereja berbicara dan menghadapi situasi seperti ini?” tanya Harjanto. Baginya, tidak bisa atas nama doktrin pernikahan yang begitu menyiksa perempuan, pernikahan ini tetap dipertahankan.
Romo Didik, Ketua Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Kevikepan dan Keuskupan Agung Semarang (KAS) selain menyampaikan terima kasih atas dukungan seluruh pihak kepada Gereja Katolik untuk terus berkiprah, juga menyampaikan bahwa sejauh ini gereja berikhtiar merespon problematika sosial; dari masalah lingkungan hingga tindakan-tindakan yang mengarah pada kriminalitas.
Terkait dengan apa yang disampaikan Harjanto Halim, sejatinya Gereja Katolik cukup responsif atas pernikahan dimana didalamnya tidak ada hukum kasih. Jika ada kekerasan disana, ada mekanisme pembatalan pernikahan atau anulasi. Jadi ada solusi jika bara dalam rumah tangga terlalu besar dan sulit untuk kembali pada keharmonisan. (Tedi Kholiludin)