Ketertiban Umum atau Tatanan Umum?: Public Order sebagai Pembatasan Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin

Ketertiban, Kerukunan dan Ketenteraman seringkali masuk menjadi “syarat sosial” dalam implementasi kehidupan beragama. Termasuk dalam soal pendirian rumah ibadat yang ada dalam Peraturan Bersama 2006. Aspek yang bersifat absolut (persyaratan dukungan warga), kemudian mesti diselaraskan dengan sisi yang agak relatif, yakni masalah ketertiban, kerukunan dan ketenteraman.

Pembatasan dalam menjalankan kebebasan beragama, memang dikenal. Dalam kovenan hak sipil dan politik, perkara ini diatur. Dalam praktiknya, kebebasan beragama bisa dibatasi dengan mempertimbangkan, ketertiban masyarakat, keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat, dan moral masyarakat dan kebebasan mendasar orang lain.

Undang-undang Dasar 1945, juga mengenal pembatasan tersebut. Pasal 28J mengakui ada pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Berbeda dengan kovenan, UUD kita menjadikan nilai agama juga sebagai dasar dari pembatasan kebebasan beragama. Nilai agama ini yang digunakan sebagai argumen konstitutif dalam hal ujian terhadap UU Penodaan Agama 1965.

Pemerintah kerapkali menjadikan pembatasan ini sebagai bagian yang harus dipertimbangkan. Dalam praktiknya, ketertiban kerapkali dimaknai secara beragam oleh mereka yang ada di lapangan. Negosiasi sering terjadi dan terkait juga dengan konteks negara masing-masing. Bahkan dalam satu negara sekalipun, praktik di lapangan, pembatasan tersebut tidak berlaku seragam. Masalah muncul karena tak jarang, ia kemudian menggugurkan syarat formalnya.

Saya hendak menelisik ketertiban umum sebagai alasan untuk pembatasan implementasi kebebasan beragama. Membahas kerukunan dan ketenteraman juga penting sebenarnya, tetapi dalam dokumen internasional, dua kata itu tidak muncul sebagai alasan untuk melakukan pembatasan.

Dalam kovenan hak sipil dan politik, frase yang digunakan adalah public order. Terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia, seturut yang ada dalam UU No. 12 tahun 2005 adalah ketertiban masyarakat. Public, seringkali diterjemahkan dengan umum, masyarakat atau publik itu sendiri. Tekanannya sebenarnya tak sama.

Baca Juga  Kuasa, Agama dan Tubuh

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) openbare orde diterjemahkan dengan ketertiban umum (Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, Pasal 154-181). Diantara yang termasuk dalam kejahatan tersebut adalah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, golongan rakyat Indonesia, (yang berbeda dalam hal ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara), permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama, dan penodaan bendera dan lambang negara.

Praktik penggunaan asumsi “ketertiban umum,” menjadi masalah karena terjadi secara subjektif. Mereka yang tak setuju, beralasan bahwa aliran keagamaan tertentu, atau pembangunan rumah ibadah sebuah golongan, berpotensi mengganggu ketertiban umum. Dalih ini menunjukkan dua hal. Pertama, karakternya bersifat diskriminatif karena seringkali mengatasnamakan masyarakat (baca: mayoritas). Kedua, justifikasi oleh negara mengabaikan norma-norma hak asasi manusia (HAM) dengan lebih menyandarkan pada UU yang berlaku dengan pendekatan hukum tata negara.

Disini, pendekatan lebih banyak dilakukan dengan cara statute approach (pendekatan berbasis UU) bukan purposive approach atau pendekatan berdasarkan tujuan sebagaimana yang ada dalam norma HAM. (Asfinawati et.al., 2019) Dalam kasus pendirian rumah ibadat, dasar ini seringkali digunakan oleh kelompok yang menolak; atas nama ketertiban umum.

Dalam sebuah diskusi bersama pegiat Hak Asasi Manusia di Yogyakarta 5-6 Juli 2018, pembatasan dari sudut pandang “public order” dibahas mendalam. Salah satunya mengajukan pemaknaan yang berbeda; yakni menerjemahkan public order sebagian tatanan umum atau tatanan sosial dalam pengertian yang lebih luas.

Implikasinya tentu saja berbeda dengan ketertiban umum. Karena ketertiban umum kerap dimaknai secara sempit sebagai antitesa dari kekacauan atau ketidakteraturan.

Singkatnya, terhadap kebebasan beragama bisa dibatasi dengan mempertimbangkan aspek tatanan sosial yang lebih luas, bukan ketertiban.

Baca Juga  Gereja Dermolo Ditutup Kembali
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini