Semarang -elsaonline.com Ketika sensus Pemerintah Belanda menyebut penganut Kalang ada dimana-mana, apakah pada kenyataannya, di masing-masing daerah itu mereka masih atau tidak?
Dr. Abdul Kholiq, peneliti masyarakat Kalang melanjutkan diskusi dengan sebuah pertanyaan. Sejauh ia melakukan penelitian terhadap kelompok ini, di Demak Kholiq tak lagi menemukannya. Pun di Jepara. Tinggal di Kendal masih ada. Setidaknya, ada 19 dukuh tempat mereka itu bertempat tinggal. Dari sini ternyata di sekitar kita ada komunitas yang dilihat dari identitas, mereka menunjukkan eksistensinya. “Hanya saja karena riwayat sejarahnya kabur, jadi tidak dikenali,” terang Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Walisongo dalam diskusi Dwimingguan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Senin (9/4).
Tidak ada yang membedakan orang Kalang dengan Jawa. Pembedanya, bagi Kholiq, ada pada sistem keyakinan yang dibangun serta mitos-mitos khas orang Kalang. “Ada cerita Medang Kemulan, lalu dikisahkan seorang putri yang menikah dengan anjing dan anjing itu sesungguhnya bentuk dari satria yang mendapat kutukan. Itu salah satu mitos yang dibangun,” Kholiq mengisahkan.
Dengan begitu, orang Kalang itu adalah orang yang mempertahankan darah keKalangannya. Pria kelahiran Demak itu bercerita, masyarakat Kalang menganut sistem endogami, menikah dengan golongannya. Tapi dalam perkembangannya, menjadi eksogami. Bicara Kalang adalah bicara yang dilihat dari garis keturunan berasal dari kalang.
Orang Kalang memiliki keyakinan bahwa sebagai orang Kalang mereka kewajiban-kewajiban. Pada saat ia menikah, harus ada identitas Kalangnya. “Saat keluarga meninggal, ada obong mitung dina dengan cara dibakar. Tapi bukan mayatnya yang dibakar, melainkan puspa atau bonekanya yang dibakar, dan barang-barang yang dulu jadi kesukaannya. Ada juga obong sependak (satu tahun),” Kholiq menjelaskan.
Yang menarik, api itu menjadi simbol untuk mentransformasikan dari alam padang ke peteng. Dalam kehidupan arwah, sama dengan kehidupan dunia. Media agar bagaimana bs berkomunikasi, degan ritual obong.
Apa yang membuat mereka tidak keluar dari kalang itu karena takut warel atau setara dengan kutukan; miskin, sakit dan tidak sembuh, musibah. Mereka sangat percaya dengan warel. Dan itu tidak hanya ada di kalangan orang tua, tapi juga kalang muda. Ada kewajiban yang secara naluriah dilakukan oleh orang Kalang. Itu identitas yang dibangun atas dasar darah. [TKh/001]