Komunitas Hindu di Kota Semarang (Bagian Pertama)

Semarang, elsaonline.com – Tahun 1960-an kedatangan orang-orang Bali yang beragama Hindu di Kota Semarang, membangun sebuah kelompok sosial baru. Mereka datang ke kota ini karena pekerjaan atau Pendidikan. Hingga kurang lebih tahun 1969, setidaknya hampir seratus orang Hindu yang berasal dari Bali sudah mendiami Semarang.

Di Jawa Tengah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) terbentuk pada tahun 1967. Di hadapan ratusan umat Hindu se-Jawa Tengah yang berkumpul di lapangan olahraga Kota Salatiga. organisasi PHDI disahkan dan dinahkodai oleh I Gusti Nyoman (IGN) Sugangga.

Percakapan terjadi antara IGN Sugangga dengan Walikota Semarang keenam (setelah Kemerdekaan), Wuryanto. Intinya adalah permohonan Sugangga kepada walikota mengenai tempat ibadah bagi umat Hindu.

Permohonan ini kemudian disetujui melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang. Umat Hindu (melalui sebuah Yayasan berbadan hukum) kemudian mendapatkan hibah tanah di Jalan Sumbing. Disanalah kelak kita mengenal bangunan Pura Agung Girinatha. Surat hibah untuk badan hukum ini diberikan pada 10 Oktober 1969.

Pembangunan Pura Girinatha secara masif baru terjadi pada tahun 1984. Ada rentang waktu yang cukup lama dari pemberian hibah dengan pembangunan yang lebih besar, karena, salah satunya, persoalan jumlah umat Hindu yang belum banyak. Sebelum dilakukan pembangunan, bentuk pura masih kecil, belum seperti yang terlihat sekarang.

Pada 1984-1985, ketika Putra Astaman menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Jawa Tengah, baru ada pembangunan yang besar.

Sebelum kedatangan masyarakat Hindu dari Bali, rupanya kelompok Hindu sudah ada di Semarang. Disana, komunitas Hindu berasal dari orang-orang Jawa sendiri.

Populasi Hindu yang hidup berkelompok bisa kita ditemukan di wilayah yang secara administratif masuk Dusun Kongkong Kelurahan Ngadirgo Kecamatan Mijen Kota Semarang. Setidaknya 30-an Kepala Keluarga penganut Hindu ada disana. “Mulanya, sekitar tahun 1970-an, jumlahnya bisa mencapai 150 Kepala Keluarga,” kata I Nengah Wirta Darmayana, Ketua PHDI Kota Semarang, Jumat (19/8).
Jumlahnya kini mengalami penurunan, terutama karena migrasi. Faktor tuntutan ekonomi menjadi alasan utama perpindahan tersebut. Karenanya, umat Hindu di Kongkong tinggal kurang dari seratus jiwa saja.

Baca Juga  Simbol Islam dan Kepentingan Pasar

Di sekitar wilayah tersebut, ada dua pura yang digunakan untuk tempat beribadah; Pura Satya Dharma dan Pura Buana Mandala. Umat Hindu Jawa terutama, menggunakan dua tempat tersebut sebagai sarana beribadah.

Mulanya, dua kelompok Hindu yang berbeda latar itu tak terkoneksi. Mereka belum membangun relasi karena masing-masing belum mengetahui ada kelompok Hindu. Di masa-masa itu, dimana teknologi belum banyak yang menguasai, maka komunikasi konvensional masih menjadi andalan dengan segala keterbatasannya.

Baru di era tahun 1990-an dua kelompok Hindu ini terhubung dan sekarang ada dalam payung yang sama, yakni PHDI. [TKh]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini