Kontekstualisasi Syari’at Islam di Indonesia

Oleh: Khoirul Anwar

Syari’at adalah derivasi dari kata syara’a yasyra’ syar’ yang memiliki arti menempuh perjalanan, sebagaimana ungkapan orang Arab syara’a lahum tharîqâ (seseorang menempuh jalan menuju kaum). Sedangkan kata syari’at sendiri berarti titah Allah kepada hambanya. (Muhammad Farîd Wajdî, Da`irah Ma’arif al-Qarn al-‘Isyrûn, (Bairut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. III, 1971), vol. V Hal. 378)

 Titah ini berupa wahyu yang terdapat di dalam al-Quran dan Hadis yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.

Syari’at dengan pengertian ini berbeda dengan fikih, karena sebagaimana yang didefinisikan ushûliyyîn bahwa fikih adalah: “Mengetahui hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.” (Badr al-Dîn Muhammad al-Zarkasyî, al-Bahr al-Muhîth, (Kuwait: Dar al-Shafwah, Cet. II, 1992), hal. 21).

Syari’at adalah agama itu sendiri, berisi tuntunan dan aturan hidup (akidah, hukum, akhlak dan yang lainnya), baik yang berhubungan horizontal, manusia dengan manusia (habl min al-Nâs) maupun vertikal, manusia dengan Tuhan (habl min Allah). Sedangkan fikih tak lebih dari hasil kreasi manusia dalam pergumulannya dengan teks-teks keagamaan (al-Nushûsh al-Syar’iyyah) yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik di sekelilingnya. Oleh karena itu dalam panggung sejarah sejak masa sahabat hingga pembentukan madzhab, bahkan sampai sekarang, terdapat aliran fikih yang memiliki pandangan beragam; pada masa sahabat terdapat madzhab Zaid Ibn Tsâbit, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ûd, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn al-‘Âsh, dan yang lainnya. Pada masa tabi’în ada madzhab Ja’farî, Abû Hanîfah, Mâlik Ibn Anas, dan yang lainnya. (Abd al-Wahhâb Khallâf, Khulâshah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Kuwait: Dâr al-Qalam, tt.), hal. 49-57).

Terlepas dari perbedaan kedua makna tersebut para ulama banyak yang menggunakan kata “syari’at” namun arti yang dikehendakinya “fikih”. Sejatinya penggunaan demikian sangat rancu, tidak hanya merusak makna, tapi memberikan asumsi negatif bahwa syari’at yang berarti hasil “kreasi manusia” seakan-akan menjadi “kreasi Tuhan”. Hal ini berimplikasi pada pemahaman bahwa produk pemikiran ulama (Baca; fikih) harus diterapkan di sepanjang masa dan di semua tempat. Padahal tidak demikian, syari’at yang abadi dan berlaku disemua tempat hanya syari’at yang berarti “firman Tuhan”, sedangkan syari’at dalam arti “sekumpulan produk pemikiran ulama” bersifat lokal dan partikular.

Baca Juga  Kedai Harmoni III

Kendati demikian dalam tataran praksis empiris masyarakat lebih akrab menggunakan kata syari’at untuk menyebut hukum Islam (yang sebenarnya diistilahkan dengan fikih). Oleh karena itu judul tulisan ini juga menggunakan kata demikian, “syari’at” dalam arti “fikih”.

Membumikan Syari’at Islam di Indonesia

Indonesia adalah Negara yang penduduknya sangat majemuk, beragam ras, suku, budaya, bahasa, dan agama yang jelas berbeda dengan penduduk Arab saat agama Islam membumi. Perbedaan seperti ini menjadikan para ulama penyebar Islam Nusantara harus mendialogkan antara kalam Tuhan dengan tradisi lokal, karena pada dasarnya ajaran Islam sendiri tidak ada yang otentik, begitu ia mendarat ke bumi maka ia menyejarah seiring dengan sejarah perjalanan hidup manusia.

Bertalian dengan hal ini Hasan Hanafî mengatakan, “wahyu tidak berada di luar konteks yang kokoh dan tidak berubah, melainkan ia berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan.” (Hasan Hanafî, Dirâsah Islâmiyyah, (Mesir: Maktabah al-Mishriyyah, tt.), hal. 71). Sepandang dengan Hanafî, Nashr Hâmid Abû Zaid dalam karya monumentalnya, Mafhûm al-Nash, menjelaskan, bahwa teks al-Quran tanpa didialogkan dengan konteks tak lebih dari lipatan huruf yang hampa makna dan tidak menghasilkan apa-apa. (Nashr Hâmid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirâsah fi ‘Ulum al-Quran, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1996), hal. 5) Oleh karena itu firman Tuhan membutuhkan konteks. Dari sisi inilah yang menjadikan syari’at walaupun teksnya terbatas, namun dapat beradaptasi dengan semua lingkungan dan abadi di sepanjang zaman. Singkatnya, ia multitafsir.

Pada intinya Allah sendiri dalam menurunkan syari’at hanya untuk memberikan kemaslahatan bagi semua makhluk. Al-Syâthibî dalam kitabnya, al-Muwâfaqât, mengatakan “Sesungguhnya diturunkannya syari’at bertujuan untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.” (Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, (Dâr Ibn ‘Affân, cet. I, 1997), vol. I, hal. 41)

Baca Juga  “Gambaran Antropolog tentang Islam Populer itu Bermasalah”

Tujuan-tujuan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh ushûliyyin yaitu; memelihara agama (hifdz al-dîn), memelihara diri (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-‘aql), memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan memelihara harta (hifdz al-mâl).

Dengan demikian menerapkan syari’at Islam bukanlah menerapkan “fikih Arab” seperti potong tangan, rajam, pakai jubah, pakai cadar, berjenggot panjang, sistem khilafah, dan yang lainnya, melainkan  memelihara lima hal pokok di atas dengan bentuknya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.

Para `ulama berpesan: “Janganlah kau terpaku pada keterangan yang tertulis dalam kitab selama hidupmu, apabila ada seseorang yang tidak setradisi denganmu meminta fatwa maka janganlah kau paksakan untuk mengikuti tradisi tempat tinggalmu. Tanyakanlah tradisi daerahnya dan berilah fatwa berdasarkan tradisi daerah orang yang bertanya, bukan tradisi tempat tinggalmu dan keterangan yang tertulis dalam lembaran-lembaran kitabmu. Para ulama mengatakan, tindakan seperti ini (memberikan fatwa dengan berpijak pada tradisi orang yang bertanya) merupakan kebenaran yang nyata, sedangkan terpaku pada lembaran-lembaran anggitan para `ulama merupakan kesesatan dalam beragama dan buta terhadap tujuan para `ulama umat Islam dan para pendahulu.” (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1991),  vol. III, hal. 66 dan al-Qarâfî, al-Furûq, (‘Âlam al-Kutub, tt.), vol. I, hal. 177).

Demikianlah apa yang dipesankan para `ulama sejatinya hendak menandaskan bahwa ajaran Islam selamanya akan terus berdialog dan berpadu mesra dengan kondisi dan tradisi lingkungan di mana ia hidup. Para pendiri bangsa ini menjadikan Indonesia sebagai Negara bangsa, negara  yang mengakui dan melindungi semua agama dengan beragam ras, suku, bahasa dan budaya yang menyertainya bukan karena mereka sekuler, tapi karena mereka tahu bahwa menerapkan syari’at berarti mengaktualisasikan subtansinya, bukan memformalisasikannya.

Baca Juga  Gus Ubed: "Mbah Sahal Peduli Kaderisasi"

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini